Rabu, 24 April 2013

Aku Tanpamu


Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba aku berpikiran bahwa suamiku tidak terlalu peduli dengan kegemaranku.

Beberapa waktu lalu aku pernah tergila-gila dengan barang pecah belah, tepatnya satu set perlengkapan untuk jamuan makan , mungkin pesta kecil atau hanya sekedar arisan komplek. Aku membelinya karena dengan memiliki barang-barang tersebut aku merasa tenang. Tenang jika tiba-tiba ada acara disaat aku sedang tidak berada di rumah, setidaknya ada jejak ke- ibu rumahtanggaan-ku disana. Alasan yang sama absurdnya dengan harga barang-barang tersebut.

Suamiku tidak terlalu senang saat aku membawa pulang barang-barang tersebut. Tapi ia juga tidak melarangku. Bisa dibilang ia bersikap mubah saat itu. Ia hanya tak bisa menahan senyum saat aku dengan semangatnya mengatur benda-benda tersebut di atas meja makan, kemudian memasukkannya ke kardus untuk besoknya kukeluarkan lagi. Begitu selama beberapa kali kulakukan untuk meyakinkannya bahwa aku membeli barang yang berguna.

Dan sampai saat ini, tak sekalipun benda itu pernah terpakai. Pernah ada acara wirid di rumah saat aku tidak ada. Namun tak seorangpun merasa perlu untuk menggunakannya. Saat acara pindahan rumah pun, benda tersebut kembali tak tersentuh. Dan suamiku kembali menggodaku saat aku akhirnya kembali menata mereka di meja untuk kemudian kumasukkan kembali ke kardusnya.
Ia jarang mengomentari kebiasaan-kebiasaanku yang mungkin aneh menurutnya. Seperti tidak peduli.

Contoh lain, walaupun jelas-jelas tahu kegilaanku pada buku, kecuali buku yang diberinya saat pernikahan kami, tak sekalipun ia membelikanku buku atas inisiatifnya. Bahkan ia tidak pernah bertanya buku seperti apa yang paling aku sukai. Seringnya ia terjebak bersamaku di Gramedia, aku sibuk memilah milih buku dan berakhir  dengan kepiawaianku menyeretnya ke depan kasir. Memang tak pernah sekalipun ia menolak, namun tak pernah juga menjadi volunteer sebagai juru bayar. Kemarin-kemarin aku menganggapnya sebagai suami yang tidak memahamiku.

Sekali lagi aku merasa ia tidak peduli dengan hobiku.

Sampai suatu hari sebuah lemari dibawa masuk ke rumah kami. Bukan lemari yang mewah, hanya lemari sederhana yang terlihat kokoh. Lemari kayu dengan empat ruang bersekat di bagian atas dan dua laci besar di bagian bawah. Aku tidak pernah tahu kapan ia memesan itu dan untuk apa. Aku biarkan saja mereka meletakkannya di sisi rumah yang kosong.

Dengan kening berkerut kupandangi ia sambil meminta penjelasan.

“ Ade bisa pajang barang pecah belah ade disini, dan buku-buku ade bisa disusun disitu” katanya sambil menunjuk-nunjuk ke laci-laci lemari.

Tanpa bicara, kupeluk ia. 

Kini buku-bukuku punya rumah baru setelah sekian lama kusesakkkan begitu saja di kardus-kardus mie. Dan aku tak perlu berulangkali membongkar pasang barang pecah belah yang mungkin memang tak pernah kugunakan itu.

Suamiku, ia memahamiku dengan caranya. Memberi wadah bagi kesenanganku, sekalipun kesenanganku itu adalah suatu hal konyol yang cukup pantas untuk ditertawakan. 

Mungkin itu bisa dikatakan bentuk memahami versi suamiku.

Ah suamiku.... AKu Tanpamu ........


" Maunya nulis sesuai lagunya Rumor tapi entah nyambung entah ngga " :)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar