“ Ngapain toh le jauh-jauh ngelamar kerja ke Sumatera”
Masih terngiang kata-kata bapak beberapa tahun lalu padaku. Sore itu di teras rumah Joglo kediaman kami di Desa Cokroyasan Kutoarjo. Sambil memijit kaki bapak, aku utarakan niatku padanya.
“ Tempa kerja yang sekarang kurang enak pak, bosnya bukan orang kita “ kuutarakan alasanku
“ Ya tapi kan ga harus ke Sumatera, Medan itu jauh lo, kalau naik bis bisa sampai tiga hari tiga malam”
“ Kan ada pesawat pak “ kilahku
Kulihat bapak menghela nafas panjang
“ Terserah kamu sajalah “ akhirnya bapak menyerah pada keputusanku
****
Lowongan
Sebuah perusahaan perkebunan BUMN di Sumatera Utara
Syarat khusus: bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Sumatera Utara
Kubaca pengumuman yang tertera di koran Kompas pagi ini. Hmm sebuah kesempatan bagus, pikirku. Perusahaan BUMN merupakan janji masa depan yang lebih baik. Sudah setahun ini aku merantau ke Jakarta, meninggalkan bapak dan ibu yang sudah sepuh di Kutoarjo. Pekerjaanku di kota ini tidaklah sementereng gelar pendidikanku, Sarjana Teknik. Di perusahaan pembuatan botol segala jenis minuman ini , aku bekerja shift, seminggu pagi, seminggu siang, seminggu malam. Ritme yang kurang bagus untuk kesehatan. Huuuft memangnya ada pilihan lain ?
Pemilik perusahaan ini adalah warga pribumi keturunan. Seperti kebanyakan perusahaan swasta sejenis, kesejahteraan adalah kata-kata yang jauh dari apa yang dirasakan.
Mimpi besarku untuk membiayai bapak dan ibu ke tanah suci menghantarkanku ke kota metropolitan ini. Berbekal semangat yang menyala, aku terima tawaran kerja dari teman kuliahku yang sudah terlebih dahulu mengadu nasib disini. Awalnya aku kira ini hanya sebagai batu loncatan. Tapi ternyata batu yang sedang kuinjak tidak terlalu kuat untuk kujadikan pijakan ke tempat yang lebih tinggi.
Gaji yang tak sebanding dengan biaya hidup di ibukota membuat waktu untuk memberangkatkan kedua orangtuaku ke tanah suci semakin lama.
Pagi ini, jadwal ujian tahap awal di perusahaan perkebunan itu. Dengan semangat angkatan 66 kulangkahkan kaki ke fakultas Teknik UI , tempat berlangsungnya test. Kurang lebih tiga jam waktu yang tersedia untuk menjawab soal-soal yang diberikan. Syukurlah pekerjaan yang selama ini kugeliti turut membantuku menjawab soal-soal tersebut.
Tampaknya test pertama ini berjalan dengan mulus. Segera kutinggalkan lokasi test. Sudah waktunya aku kembali ke pabrik.
Panggilan demi panggilan berikutnya semakin mengukuhkan langkahku. Tinggal dua tahapan lagi. Tidak seperti lazimnya perusahaan yang menempatkan test kesehatan di akhir. Perusahaan ini melakukan test kesehatan sebelum wawancara. Tidak masalah, batinku.
Masalahnya adalah, test kesehatan tidak dilakukan di Jakarta, tetapi di Jogja. Karena test akan digabung bersama dengan peserta test yang berasal dari Jogja dan Surabaya.
Pusing kepalaku memikirkannya. Bagaimana mungkin aku bisa ke Jogja. Surat panggilan test baru aku terima pagi ini. Sedangkan testnya besok hari. Naik pesawat ??? aku tidak punya uang untuk beli tiket pesawat. Ahhh, mungkin memang bukan rezekiku pikirku.
Namun hatiku tidak tenang, seperti ada yang mendorong terus agar aku berangkat ke Jogja. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Baiklah, bismillah. Dengan bekal seadanya aku keluar dari kostku di Jatibening menuju terminal bis Kampung Rambutan. Kalau naik kereta api, sudah tidak terkejar lagi.
Sungguh sial nasibku, bis yang ke Jogja dan ke arah Jawa Tengah maupun Jawa Timur sudah tidak ada lagi. Satu-satunya jalan, aku harus berganti-ganti bis . Cepat kuputuskan untuk segera naik ke bis jurusan Cirebon, satu-satunya bis yang masih tersisa. Ah yang penting berangkat dulu, pikirku. Selanjutnya dipikirkan nanti saja.
Ternyata keberuntungan belum berpihak padaku. Sampai di Purwakarta, laju bis mulai tersendat, di depan ada kecelakaan, sehingga menyebabkan lalu lintas macet. Ah dengan gelisah kulirik jam tangan yang melingkar di tanganku, pukul sebelas malam. Kuhitung cepat jarak perjalanan. Sepertinya sudah tidak mungkin aku bisa tiba di Jogja sebelum test dimulai.
Dengan lunglai kuambil keputusan untuk kembali ke Jakarta. Percuma saja, waktunya sudah tidak terkejar lagi.
Pukul tiga pagi, aku sudah meringkuk di kamar kos. Ada yang berkecamuk di pikiranku. Tapi segera kutenangkan hatiku. Mencoba ikhlas, semoga ini memang ketentuan dari Nya. Mataku pun tak kuasa melawan perintah ragaku yang sudah lelah.
Keesokan pagi, aku pergi kerja seperti biasa. Sarapan di depan pabrik. Berusaha melupakan kesempatan yang hilang si pelupuk mata.
Jam delapan lewat lima belas, saat tiba-tiba handphoneku bergetar. Kulirik sekilas, nomor Jogja. Dengan penasaran segera kutekan tombol yes.
“ Halo , selama pagi dengan bapak Teguh”
Suara seorang peremuan di ujung sana
“ Iya benar saya sendiri, mohon maaf ini dari mana ya”
“ Saya Fitri, dari LPP Jogja pak, seharusnya bapak hadir pagi ini untuk mengikuti test kesehatan, bisa kami tahu posisi bapak sekarang dimana, kalau memungkinkn biar kami tunggu ?”
Hah. Ga salah dengar ni telingaku. Baru kali ini aku mendengar ada perusahaan yang mau menunggu bakal calon pekerjanya. Sejujurnya timbul setitik harapan di hatiku, siapa tau masih rezekiku.
“ Ehmmm, saya lagi di Jakarta bu, tadi malam kehabisan tiket sehingga tidak bisa hadir” jawabku jujur.
Hening disana, kudengar ibu Fitri tersebut berbicara dengan seseorang di seberang.
“ Maaf bapak, perintah atasan saya, semua peserta test harus melaksanakan test, apakah bapak bisa megusahakan kesini secepatnya, kami akan tunggu “ katanya
APAA, tak percaya aku mendengarnya. Apakah ini memang jodohku? Pikirku, Tanpa pikir panjang langsung kusanggupi untuk segera kesana secepatnya.
Klik, telepon pun terputus. Tinggal aku termenung sendiri. Darimana aku punya uang untuk membeli tiket pesawat. Dengan lemas aku terduduk.
Tiba-tiba aku teringat dengan uang pemberian bapak sebelum aku merantau ke Jakarta yang belum kugunakan. Secepat kilat aku berlari kembali ke kos. Untung jarak kosku ke pabrik tidak terlalu jauh. Kubongkar seluruh isi lemari, mencari-cari amplop pemberian bapak. Cepat kurobek, disitu tersusun rapi lembaran sebanyak Rp500 ribu. Hampir tak mampu aku membendung air mata ini. Jumlah yang cukup untuk satu kali penerbangan. Masalah balik, biar nanti dipikirkan.
Seperti mendapat suntikan baru aku berangkat ke bandara Soekarno Hatta. Bismillah, aku pun berangkat ke Jogja. Sampai di LPP hari sudah sore. Seperti janji di telepon. Bu Fitri segera mengantarkanku ke ruang pemeriksaan kesehatan.
*****
Hampir setahun sudah aku menjalani training di perusahaan perkebunan ini. Seminggu setelah test kesehatan yang luar biasa itu, aku menerima panggilan wawancara. Syukurlah kali ini wawancara berlangsung di Jakarta. Tiga hari kemudian aku dinyatakan lulus dan dua hari kemudian harus berangkat ke Medan untuk menjalani training selama setahun.
Malam itu juga aku segera berangkat ke kampung halamanku, Kutoarjo. Bagaimanapun juga aku akan berada di Sumatera dalam waktu yang aku tak tahu berapa lama. Aku ingin minta doa restu dari bapak dan ibu.
Kulihat dengan berat bapak memberi restunya untukku. Sedangkan ibu, beliau hanya menangis. Mungkin karena aku anak paling kecil, sehingga berat ia melepaskanku, padahal selama ini juga aku jauh dari mereka. Hanya saja bayangan pulau Sumatera yang jauh dan tidak ada sanak saudara disana membuat hati kedua orangtuaku berat.
Hanya semalam aku melepas rindu. Esok paginya aku harus segera kembali ke Jakarta. Kucium tangan ibu, berharap ridhonya akan meringankan langkahku. Bapak hanya diam menatapku.
****
Ternyata Sumatera Utara jauh sekali dari bayanganku selama ini. Aku pikir, daerahnya terpencil, sunyi dan tidak modern. Ternyata fasilitas disini tidak berbeda jauh dari yang ada di Jawa. Ditambah teman-teman yang ternyata delapan puluh persennya adalah dari Jawa membuatku merasa seperti di kampung halaman sendiri.
Selama training kami seperti diisolasi dari dunia luar. Tidak boleh pulang selama satu tahun. Tadi malam bapak meneleponku, memberitahukan bahwa besok beliau dan ibu akan berangkat ke tanah suci.
“ Hati-hati ya bu disana, doakan aku biar sukses disini” kataku pada ibu
Meskipun tak melihat, aku tahu ibu pasti sedang menitikkan air mata disana. Ah ibu, entah mengapa belakangan ini selalu mengharu biru kalau berbicara denganku.
“ Kamu juga jaga diri disana ya le, kalau bisa segera cari istri, biar ibu sempet kenal sama menantu ibu” kata ibu sambil tertawa
.
***
Malam itu, aku sedang bertugas di pabrik. Kulihat layar HP ku berkedip kedip. Nomor telepon Mas Agus di kampung. Tiba-tiba rasa mulas menyerang perutku. Perasaan tidak enak menyelimutiku. Tidak biasa-biasanya mas ku ini menelepon, malam-malam pula.
“ Halo, Assalamualaikum, ada apa mas” tanyaku tanpa basa basi
Hening diseberang
“ Kamu sehat kan Guh “
Bukannya menjawab pertanyaanku, mas Agus malah balik bertanya
“ Alhamdulillah sehat mas “ Jawabku
Tiba-tiba kudengar mas ku menghela nafas panjang
“ Yang sabar ya Guh, ibu sudah pergi tadi siang”
DEG, lemas rasanya persendianku. Ibu pergi??? Aku masih berusaha mencerna kata-kata mas Agus.
“ Kapan mas, dimana? “ tanyaku gugup
“ Tadi siang di Mina, dehidrasi” jelas mas Agus
Ya Allah, ibuku yang baik, ibuku yang salehah, ibuku yang terakhir kali aku temui setahun yang lalu. Tak kuasa aku membendung lagi tangis yang sejak tadi kutahan.
****
Esok siangnya, aku memimpin sholat ghaib untuk ibu di mesjid sebelah pabrik. Kukirimkan doa-doa untuk meringankan langkahnya disana.
Aku tidak pulang ke Kutoarjo, karena memang tidak ada yang bisa kutemui disana. Ibu dimakamkan di Mekah. Sedangkan bapak belum pulang dari haji nya. Akhir bulan ini baru aku pulang sekalian menjemput kepulangan bapak.
Tak kusangka , ciuman tanganku setahun yang lalu, adalah kontak fisikku terakhir bersama ibu.
***
Selalu ada hikmah di setiap peristiwa
Allah telah mengambil wanita yang paling berjasa dalam hidupku
Namun Ia begitu baik padaku
Setahun setelah kepergian ibu, aku diberi ganti
Seindah-indah perhiasan dunia
Kini mendampingi hari-hariku
Dia lah Istriku
Yang menceritakan kisah ini padamu
Tulisan diikutkan dalam STIKY POST ELFRIZE
Gambar dari sini
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar