Minggu, 29 Maret 2015

Dee's Couching Clinic Medan, Proses Kreatif dibalik Supernova

Nah setelah tahu bagaimana tips dan cara Dee menulis novel di tulisan saya sebelumnya, kita lanjut dengan kekepoan saya mengenai proses kreatif dibalik penulisan Supernova. Iya pengen tau pakai banget, soalnya bagi saya pribadi serial Supernova itu merupakan serial yang tidak biasa, yang rasa-rasanya belum ada penulis Indonesia yang menulis seperti itu. Entah ya kalau saya salah.

Ternyata memang dalam menulis, Dee punya prinsip untuk menulis sesuatu yang ingin ia baca. Karena ia tidak menemukan novel yang bercerita seperti yang ingin dibacanya, maka ia menulisnya. Ini Tips juga nih bagi para penulis, Tulis sesuatu yang ingin kau baca.


IDE AWAL

Ide awal Supernova itu adalah spiritualitas. Berawal dari tragedy 1998 , dimana saat itu terjadi konflik yang cukup besar di Indonesia yang dilatarbelakangi agama. Saat itu ia berfikir, kok bisa orang berperang atas dasar agama. Bukannya agama itu harusnya rasa cinta, rasa kasih sayang, kepedulian terhadap sesama?. Kok bisa agama dilegitimasi sebagai alat untuk membunuh. Peristiwa itu membuat ia gemas dan ia ingin mengajak orang untuk bertanya ke dirinya masing-masing, kenapa itu bisa terjadi?. Ia ingin mengajak orang bertanya ke dirinya masing-masing seperti apa cara pandang kita terhadap Tuhan. Karena menurut Dee, cara pandang kita terhadap Tuhan menentukan cara pandang kita terhadap dunia.

Dari situ ia mulai menulis Supernova. Dari awal, ia sudah merencanakan untuk menulis novel dalam bentuk serial. Karena saat Dee menulis buku pertama KPBJ, ia merasa apa yang ingin ia sampaikan belum selesai. Masih banyak yang mau dibicarakannya. Makanya diteruskan ke buku ke dua.

Saat menulis buku kedua Akar, Dee membaca buku JK Rowling, Harry Potter. Disitu dia tertarik dengan tokoh Hermione dan Ron yang merupakan sahabat sekaligus kaki tangan Harry Potter. Karena pada dasarnya ia adalah orang yang suka berkelompok, maka ia pun berpikir untuk membuat empat tokoh di ceritanya. Saat itu ia membayangkan polaritas yang saling kontras satu sama lain. Seperti unsur-unsur alam, air, udara, api, tanah. Trus dia pikir gimana kalau membuat seperti Yin and Yang, tapi kayaknya yang seperti itu sudah biasa, ia pun berfikir yang lain.

Kebetulan pada saat itu Dee lagi membaca buku science tentang perkawinan antara Partikel dan Gelombang. O ya udah dibuatlah satu partikel yang satu gelombang.

Lalu ia tertarik lagi dengan konsep bahwa manusia ini adalah makhluk unik karena ia merupakan penghubung antara langit dan bumi. Oke, ide langit dan bumi ia ambil. Apa yang menyimbolkan langit? Petir. Apa yang menyimbolkan bumi atau tanah? Akar.

Maka jadilah empat ide besar.


NAMA TOKOH

Kemudian beranjak ke pemilihan nama tokoh.

Untuk petir apa ya yang pas? Hmmm petir, listrik, elektik, muncullah ELEKTRA.

Trus Akar, akar itu tanaman, pohon, dipilihlah pohon Bodhi, pohon kebijaksanaan, maka tokohnya bernama BODHI

Karena sudah satu cewek, satu cowok, biar seimbang, harus ada dua cewek dan dua cowok.

Maka untuk Gelombang , dipilih dari nama-nama gelombang, ALPHA kayaknya oke, yo  wis dipilih Alpha. 

Untuk Partikel, Dee sampai membuka puluhan literature, termasuk nyari dari bahasa Ibrani. Nyari di terjemah-terjemahan yang menarik sampai akhirnya ketemu bahasa Arab, ZARAH yang artinya partikel terkecil. Sip, Zarah pun diambil.

Wow, untuk menentukan nama saja, sedemikian dipikirkan yah. Tapi memang iya sih, kalau nama tokohnya ngga pas itu, rasanya ada yang kurang dalam sebuah novel. Kayak Siti Nurbaya, kalau diganti jadi Carissa Putri mungkin kurang terasa ya perjodohannya, hahaha ngaco.

Nah, itulah gambaran besar dan ide dasar Supernova.

KARAKTER

Trus mulai ke karakter. Seperti apa nih tokoh-tokoh yang sudah dipilih Dee.

Mulai dari Bodhi, Dee ingin menggambarkan bahwa Bodhi itu akar tapi yang tercerabut dari akarnya. Makanya diceritakan Bodhi itu yatim piatu, tidak tahu orangtuanya siapa, hidupnya tidak jelas. Seperti itulah Bodhi.

Kemudian,di Petir, karena Dee suka keberagaman, maka ia ingin memasukkan tokoh yang menggambarkan keberagaman itu di Petir. Maka Elektra digambarkan sebagai gadis keturunan Chinese. Biar gampang dikasih marga yang biasa ada di Indonesia, Wijaya, jadilah Elektra Wijaya. Karakter Elektra sendiri diambil dari adik kandung Dee, yang mana orangnya kocak,ngga punya motivasi hidup tapi sebenarnya berprestasi. Maka jadilah tokoh Elektra seperti di Petir. Hayoo baca dulu sono biar ngeh.

Nah karena Elektra itu digambarkan sebagai sosok perempuan yang yaah gitu deh, maka Zarah harus kebalikannya. Biar kontras. Maka Zarah diberi karakter sebagai perempuan tangguh. Apa yang mewakili ketangguhan?, diberilah ia hobi traveling, fotografi.  Widdiiih, emang bener sih ya, perempuan yang hobi traveliing dan fotografi itu kesannya memang tangguh, kayak Trinity itu ya kan?. 

Dee sama sekali tidak mengerti fotografi lho waktu nulis Zarah, maka ia sengaja ambil kursus fotografi, biar tahu bagaimana dunia Zarah. Trus karena Zarah berasal dari bahasa Arab, ya udah sekalian aja Zarah dibuat keturunan Arab.

Nah terus tokoh Alfa di Gelombang.

Karena Dee merasa bahwa ia adalah seorang batak Murtad, orang Batak tapi lahir di Bandung dan ngga ngerti bahasa Batak, maka ada rasa bersalah dalam dirinya dan ia memiliki keinginan untuk mendedikasikan satu tokoh dalam bukunya untuk orang Batak. Maka jadilah si Alpha sebagai orang Batak. Awalnya marga Alpha adalah Siagian, karena suku batak itu kan sangat sensitive dengan marga, makanya Dee ambil marga dia sendiri. Minimal kalau di ceritanya si Alpha kenapa-kenapa, ngga ada yang protes, lha marga-marga guwe, hahaha. Namun dalam perjalanannya menulis Gelombang, tokoh Alpha berubah merga menjadi Sagala, karena saat ia riset tentang sejarah batak ia melihat di sejarah Sianjur Mula-mula ada story yang menarik untuk diceritakan. Tapi marga Siagian hampir tidak ada di Sianjur Mula Mula. Marga yang dominan adalah  Limbong atau Sagala. Akhirnya ia pilih Sagala, jadilah Alpha Sagala.

Oya yang belum pada tahu, Sianjur Mula Mula itu adalah nama sebuah desa di Tapanuli Utara, dekat dengan Pangururan. Disitulah asal muasal sejarah suku Batak yang ada di Sumatera Utara. Walaupun saya bukan orang batak, saya tersanjung banget nih, Dee mau nulis di buku Gelombang dengan Setting tanah Batak yang notabene berada di Sumut. Bahkan teman-teman kantor jadi pengen baca Gelombang, karena saya bilang ada sejarah tentang Batak disana, hahaha.




SKETSA TOKOH

Biar lebih jelas lagi , karakter para tokoh ini dibuat sketsa oleh Dee. Tapi karena ia tidak bisa membuat sketsa diundanglah seniman untuk membuatnya.

Alpha disketsakan pria dengan jas dan dasi, rapi. Maka Bodhi harus kebalikannya, memakai jeans dan baju robek, sepatu Converse. Pokoknya kontras, karena yang kontras-kontras itu menarik. Kontras itu sumber konflik, dan dari konflik banyak tersimpan cerita. Demikian juga Elektra dan Zarah.

Awalnya Dee ingin membuat para tokoh itu dalam satu bab- satu bab. Tapi ketika menulis Akar, yang tadinya Bodhi cuma satu bab kok tahunya malah panjang, jadilah satu buku sendiri tentang akar. Kalau akar dikasih jatah satu buku, masa yang lain cuma kebagian satu bab, maka biar adil jadilah empat buku.

Dari Trilogy sampai Heksagonal.

Jadi awalnya Trilogi, di tengah jalan jadi empat, eh malah sekarang jadi enam. Upps, kayaknya Dee keceplosan hahaha. Pssst jadi bocorannya nih, masih ada dua buku lagi. Yang berikutnya adalah Intelegensia Embun Pagi tokohnya Gio, yang ada di bab awal Gelombang,. Yang terakhir, Dee ngga mau ngasih tahu, aaaah. Biarlah menjadi misteri, biar penasaran .

Kenapa jadi enam?.

Karena bagi Dee, alam itu adalah sumber inspirasinya. Karena enam, heksagonal itu bahasa alam. Seperti molekul air, seperti rumah lebah. Kalau empat, menurutnya tidak seimbang.

Saat menulis akar itulah Dee lagi kesetrum berat. Kesetrum ide, semua ide menggonggong minta perhatian. Akhirnya untuk menenangkannya, dibuatlah satu-satu halaman dulu untuk menenangkan mereka. Just show the character feels.

Bank Data Penulis

Di buku Gelombang, ada cerita tentang kegemaran tokoh Alpha membaca Ko Ping Ho. Jadi ada peserta yang nanya apa Dee memang beneran hobi baca ko Ping Ho. Hahaha pertanyaannya seru. Ternyata Dee bukan pembaca kopingho. Tap abang Dee adalah pembaca komik silat. Jadi dulu ceritanya saat kecil, ibunya tidak suka abangnya baca-buku komik, karena bagi ibu Dee komik itu memberi pengaruh buruk. Akhirnya si abang suka baca komik sambil ngumpet di kamar mandi. Nah, cerita itu ada di bank data Dee. Ko ping Hoo melekat di ingatannya karena kebiasaan si abang. Kalau Ia sendiri sukanya baca Wiro Sableng malah, xixixi.

Hal lain yang ada di bank datanya dan dimasukkan ke dalam karyanya adalah tentang hobi mengisi TTS. Makanya di Gelombang, Dee bercerita kalau TTS gambarnya waita santun, pasti TTS nya susah, kalau gambarnya seronok TTS nya mudah, karena ia memang hobi ngisi TTS. Hahaha, ada ada saja yah. Banyak hal-hal seperti itu yang dimasukkan dalam cerita. Terkadang ia malah sudah tidak tahu lagi mana yang riil mana yang tidak

Contoh lain, Bukit Jambul dalam Partikel

Inspirasi bukit jambul datang saat Dee bolak-balik melakukan perjalanan Jakarta-Bandung melalui tol. Di sepanjang perjalanan yang ia lihat hampir semua bukit gundul, berubah jadi ladang atau kebun teh. Tapi ada satu bukit yang beda dari yang lain. Di bukit itu malah pohonnya besar-besar dan tinggi-tinggi. Ia berfikir kok bisa ya pohon-pohon itu dibiarkan ngga ditebang seperti bukit lain.

Nah di buku Partikel, saat menulis tentang Firas, ayahnya Zarah, ia butuh satu tempat mistis. Mulailah ia mencari di bank datanya, ada tidak tempat mistis yang punya story. OOo, ada, ternyata yaitu si bukit. Karena bentuknya yang mirip jambul, maka jadilah ia bukit jambul yang melengkapi cerita.

Aduh saya patah hati banget nih, mengetahui kalau Bukit Jambul itu ternyata fiktif belaka. Ada juga peserta yang langsung protes dan bilang kepatah-hatiannya, hahaha ini peserta pada parah amat yak.

Sebetulnya kita semua pasti punya bank data, yang mungkin sudah jarang dilihat, atau malah sudah dilupakan. Padahal ada banyak story di sekitar kita yang pastinya masuk ke dalam bank data. Jadi sebenarnya tidak pernah ada istilah kekurangan ide. Ide itu banyak dan ngga habis-habis, masalahnya kapan dan bagaimana kita mendengar dengan benar ide-ide tersebut.

Nah itulah proses kreatif di balik penulisan Supernova, ckckckck kalau kita pikir-pikir mungkin banyak juga yah penulis yang memiliki cara seperti Dee Lestari ini, tapi kok ya ekseksinya beda.

Disamping proses kreatif Supernova, saya juga bertanya kepada Dee, siapa penulis atau buku yang menjadi sumber inspirasi Dee selama ini

 Siapa yang menginspirasi Dee dalam menulis?

Penulis yang menjadi katalisator Dee dalam menulis adalah buku Sapardi Joko Darmono. Membaca karya-karya Sapardi membuat Dee menjadi orang yang puitis. Ia sangat mengagumi penulis yang satu ini. Pernah ada lomba menulis yang ketua dewan jurinya adalah Sapardi, Dee langsung ikutan, tujuannya mau membuat Sapardi terkagum-kagum dengan karyanya yang ia rasa Wow itu.Tapi ternyata masuk final pun tidak. Dulu juga saat membaca cerpen-cerpen di Anita Cemerlang ( yea elaaa, itu tahun berapa yah xixixi, saya juga dulu koleksi cerpen-cerpen Anita), ia membatin kok bisa cerpen kayak gini lolos, perasaan cerpenku lebih keren. Eh pas dikirim malah ngga keterima hahaha, sama banget nih seperti perasaan kebanyakan penulis kayaknya.

Nah saat itu ia punya pilihan untuk berhenti, karena merasa gagal membuat Sapardi tercengang, gagal menembus majalah . Tapi untungnya ada sifat songong dari Dee, “ Ah belum rezekinya Anita, belum rezekinya pak Sapardi untuk berjodoh dengan tulisanku”.  Hal ini yang membuat Dee terus menulis. Namun bagaimanapun ada juga perasaan krisis kepercayaan diri. Akhirnya tulisan-tulisan itu hanya disimpan , tidak pernah dipublikasikan.

Penulis yang menginsipirasi lainnya adalah Ayu Utami

Saat itu ia merasa kok buku-buku yang ada rasanya jadul banget. Tidak ada karya yang kontemporer. Sampai ia membaca “ Saman” Ayu Utami. Membacanya , ia kayak dihunus oleh pedang, damn kok ada orang yang bisa nulis kayak gini, guwe kemana aja. Nah, ada seorang temannya yang mengetahui selama ini ia hobi menulis, langsung nyolot, “ Makanya Lu jangan ngomong aja, berkarya dong”. Plak, rasanya kayak ditabok dua kali. Tidak lama,  2 tahun kemudian, tahun 2000 Dee menulis Supenova, prok… prok.. prok.. Walaupun berjarak dua tahun sejak membaca Saman, ia merasa bahwa ada bagian karya Ayu yang ikut mendorongnya untuk terus menulis.

Dan yang ketiga adalah Dan Brown

Kalau yang ini, sepertinya semua orang mengaguminya yah, saya pun termasuk fans nya, walau yang dibaca cuma Davinci Code hahaha. Bukunya itu selalu membuat pembaca ngga bisa berhenti, karena dalam setiap akhir bab ia selalu mengakhiri dengan pertanyaan. Ini mungkin salah satu contoh novel yang Page Turner ya.

Dan ada satu lagi penulis Thailand yang tinggal di Amerika, namanya suseh ntar ye aye googling dulu.

Lalu, pengen tahu juga dong yah, kapan waktu Dee menulis

Kapan waktu Dee Menulis

Dee menulis saat subuh sebelum memulai aktivitas apapun. Saat anak belum bangun, saat rumah belum heboh. Kemudian dilajutkan lagi saat siang hari kalau sempat. Yang penting bagian besarnya itu sudah dilakukan saat subuh. Jadi bukan berarti penulis itu harus begadang-begadang dan bersahabat dengan hantu malam, karena hantu siang juga asik lho diajak kerjasama. Menurutnya juga yang namanya kegiatan menulis itu ngga perlu didramatisir. Kayak yang harus sambil mendengarkan lagu mellow, sambil minum kopi, atau sambil melihat rintik hujan. Hahaha kebayang yah kelebay-an penulis. Pokoknya kalau memang serius mau jadi penulis, ya buat menulis itu menjadi kegiatan professional, layaknya pekerja kantorang, yang duduk di meja mengerjakan berkas-berkas, dokumen pekerjaan, yah penulis pun seperti itu. Sehingga ngga perlu nunggu mood datang baru mulai nulis.

Bagaimana caranya supaya semangat terus dalam menulis?

Nah, banyak juga nih kata Dee penulis yang selalu nanya, bagaimana caranya supaya terus semangat dalam menulis. Jawabannya?, ngga ada caranya. Karena yang namanya semangat itu pasti naik turun. Dee sendiri kadang kala ngga mood untuk nulis, saat bosan gitu malah mainan twitter. Tapi itu lebih realistis daripada kita punya ekespektasi bahwa kita harus semangat terus. Tapi yakinlah ada saat –saat dimana ide itu mengalir lancar kayak keran bocor. Nah saat itulah bisa menggantikan hari-hari dimana kita kehilangan semangat.

Sudah selesai deh semua pemaparan dan sharing dari Dee Lestari. Dee berharap kedatangan para peserta Dee's Couching Clinic ini bisa menjadi setruman untuk menyelesaikan apa yang belum selesai, atau malah memulai untuk menulis. Kalau menulis novel saja bisa dikuantifikasi apalagi menulis blog yah, hahaha cetek banget lah. 400 kata sekali posting, seminggu sekali saja postingnya, dalam setahun sudah jadi berapa buku tuh. Aduh, dakuh tersindir, sudah bertahun-tahun ngeblog kok yah gitu-gitu aja. 

Ia ingin dapat report dari peserta suatu hari nanti, apa sih yang sudah dilakukan setelah mendapat sharing darinya. Terakhir, ia berharap mudah-mudahan apa yang dibagi Dee kepada para peserta bermanfaat dan memacu semangat untuk menulis. Bermanfaat banget lah ya.

Acara ditutup dengan book signing dan foto bareng seluruh peserta. Aaaah sungguh hari yang sangat indah dengan ilmu yang luar biasa. E... tapi masih ada lho cerita waktu saya lunch bareng Dewi Lestari dan Ika Natasha. Nantikan di tulisan selanjutnya, eeeaaaa sok ngartis.



Makasih banyak Dee Lestari
Makasih Bentang Pustaka
Makasih Kumpuan Emak Blogger

Rabu, 25 Maret 2015

Dee's Couching Clinic Medan, Menulis Ala Dee Lestari

Setelah mupeng melihat foto-foto dan ulasan emak-emak blogger di Solo, akhirnya tiba juga giliran Medan mendapat kehormatan untuk didatangi acara sekeren Dee’s Couching Clinic, yeaaay. Oya bagi yang belum tahu, Dee’s Coaching Clinic adalah acara yang diselenggarakan oleh penerbit Bentang Pustaka di lima kota yaitu Solo, Medan, Jakarta, Surabaya, Makasar. Kota-kota ini dipilih mewakili basecampnya pembaca Dee sekaligus mewakili geografis Indonesia. Pesertanya sendiri dipilih dari pemenang lomba review novel Dee terbaru yaitu Gelombang. Saya sendiri hadir mewakili komunitas ‘Kumpulan Emak Blogger’ yang super keren itu. Aaih makmin, makasih banget yah untuk kesempatan yang telah diberikan kepada saya.

Tidak hanya saya, ada empat emak lain sebagai wakil KEB di acara ini, yaitu mak Annisa Fitri Rangkuti, mak Nurul Fauziah, mak Lia Cerya dan mak Pertiwi. Kalau dengan mak Nurul dan mak Nisa saya sudah pernah ketemu di acara Tupperware, dengan emak yang dua lagi baru kali ini, jadi sekalian Kopdar deh xixixi.


Dari kiri ke kanan: Mak Nissa, saya, Lia,Pertiwi,Nurul

Acara diadakan di Hotel Santika Diandra Medan pada hari Minggu jam 9.00 pagi. Duh, baru mau berangkat aja, anak saya Tara sudah merengek-rengek minta ikut. Rasanya tidak tega juga melihat Tara nangis gitu, tapi acara kayak gini kan tidak setiap hari ada, boleh lah ya saya sedikit egosi. Apalagi suami mengijinkan, ya sudahlah Tara tinggal dulu di rumah sama papa dan wawaknya.

Saya tiba di Santika tepat pukul 9.00 WIB, setelah isi daftar hadir, dapat gudie bag lucu, saya pun segera ke kursi yang disediakan. Sepertinya sudah hampir seluruh peserta hadir, sedangkan Dee sendiri lagi sarapan katanya. Ya sudlah daripada bengong, saya dan emak lain pun langsung curi start buat futu-futu hahaha, dasar emak narsis. Si mas panitia sampai repot menggotong-gotong banner demi foto kece kami.

Eh lagi, asik foto-foto, sekonyong-konyong seorang perempuan berambut cepak dan berkacamata masuk.  Ih kok kayak kenal ya, tanpa tedeng aling-aling saya langsung samperin,

“ Mba, ika Natassa ya?”.

“ Iya “ jawabnya ramah

Hwaaaa, langsung deh norak-norak bergembira.

“Boleh minta foto mba?”

Xixixi, langsung aja deh si mba saya gandeng, jepret jepret. Itu tangan saya ngga sopan banget lho pakai peluk-peluk sembarangan.  Girang banget ketemu Ika Natassa di acara Dee. Coba, kurang keren apalagi Ika natassa ini salah satu dari banyak penulis Indonesia yang saya kagumi. Apalagi dia juga banker seperti saya, jadi berasa sok kenal sok dekat gitu. Ntar saya certain sendiri deh soal Ika Natassa di postingan lain.


With Ika Natassa

Acara pun dibuka MC yang gokil, lumayan membuat kita-kita ketawa pagi-pagi. Sambil menunggu Dee datang, si mba MC melempar beberapa pertanyaan buat kita, cepet-cepatan, siapa bisa jawab dapat hadiah buku. Dan, iya…. Di sesi ini saya dapat bukunya Claudia Kaunang karena bisa jawab pertanyaan mba MC. Hahaha, dasar emak murahan, gitu dengar kata hadiah langsung semangat 45.




Setelah bagi-bagi hadiah, akhirnya yang ditunggu-tunggu pun muncullah dari pintu masuk, eng ing eng.

Wih, pertama melihat Dee langsung tersepona saya, anggun dan cantik banget. Kemarin itu, Dee pakai cardigan panjang selutut warna maruun dipadu dengan daleman hitam dan rok kedut warna coklat muda. Cantik banget deh , dan terlihat muda dibanding usianya. Acara pun langsung diambil alih oleh Dee.

Eh, saya tuh focus banget dengerin Dee ngomong, soalnya jaraknya dekat sekali, jadi lupa foto-foto jadi maaf yah kalau fotonya sedikit. Dan siap-siap, ini tulisannya panjang bener, soalnya ini bukan review tapi menceritakan kondisi disana. Kretekin jari dulu.

Asal Muasal

Jadi nih acara DCC ini digagas oleh Dee karena Dee merasa diluar sana kita itu kekurangan sumber pustaka buku tentang bagaimana caranya menulis atau baggimana sih proses kreatif penulis itu, apa yang dilakukannya, apa kesulitannya. Kalaupun ada semacam buku panduan menulis, entah ditulis oleh editor atau jurnalis jumlahnya masih sangat sedikit, terakhir yang diingat Dee itu bukunya Arswendo Atmowiloto yang berjudul “ Menulis itu gampang”. Wah saya sih belum baca bukunya, tapi jadi malah pengen nyari buku om Arswendo. Nah, . Jadi Dee itu merasa kesulitan kalau ada yang bertanya, dan nyatanya banyak sekali yang bertanya kepadanya bagaimana caranya menulis.Xixixi biasa ya yang namanya penulis best seller pasti kebanjiran pertanyaan itu. So, daripada harus jawab satu-satu, dan karena Dee dan Bentang masih punya jatah promo Gelombang untuk lima kali show lagi, jadi deh acara ini diadakan.

Tujuannya nanti Dee mau buat semacam buku panduan atau buku petualangan menulis yang berisi apa-apa yang ingin diketahui orang tentang menulis. Tapi, Dee ngga ingin ngawang-ngawang, mengira-ngira apa yang kira-kira ingin diketahui, atau kendala orang untuk menulis, makanya Dee pengen menjaring pertanyaan-pertanyaan dari penulis-penulis wanna be kayak saya, atau penulis yang sudah punya buku, yang pengen punya buku, yang cita-citanya pengen punya buku yang nanti akan dikompilasi oleh beliau.  Jadi, kita-kita ini peserta DCC adalah bahan eksperimennya Dee, wkwkwkw. Eh gpp lah ya jadi eskperimen penulis sekelas Dee, saya mah ngga nolak.

Trus yang membuat acara ini istimewa, karena disini kita bisa puas-puasin bertanya sama Dee. Dee terbuka banget untuk semua pertanyaan kita. Bahkan dee berkata bahwa “ inilah saatnya kita harus egois”. Pokoknya jangan malu-malu, jangan ragu, jangan takut, raup keuntungan sebanyak-banyaknya, ilmu yang bisa di dapat.

And here we go….


Sumber : Instagram Dewi Lestari


Untuk sesi pertama Dee membuka untuk 5 penanya. Saya ngga mau ketinggalan dong, langsung angkat tangan setinggi-tigginya, apalagi kata MC nya siapa yang paling aktif trus siapa yang live tweet nya paling oke bakal dapat hadiah Lunch bareng Dee, wadaaaw emak narsis langsung mupeng. Pertanyaannya banyak banget, saya rangkum saja ya, dan ditulis tidak berurutuan.

Cerita Dee

Dee itu senang menulis sejak kelas 5 SD tahun 1985. Ya elaa, saya mah masih umur 2 tahun saat itu, Dee udah nulis aja.  Manuskrip pertama yang diselesaikan Dee adalah pada tahun 2000.  Lama ya, iya Dee bilang ada begitu banyak naskah yang dibuatnya namun tidak selesai. Penyebabnya Karena ia merasa kesal dengan majalah-majalah yang memberi batasan jumlah halaman untuk penulis. Padahal ia bukan orang yang senang dikekang, inginnya ya kalau nulis ya nulis saja ngga usah dibatas-batasi.

Apa Modal Seorang Penulis

Yang paling utama itu, dalam menulis seorang penulis harus mempunya niat awal. Ini sangat penting tapi sering luput dari perhatian.  Kalau Dee sendiri niat dia menulis itu untuk berbagi. Kalau saya apa yaaa?, saya sih niat nulis karena menulis itu melegakan, hahaha yaela cetek amat niatnya mak. Oke, lanjut. Nah setelah punya niat, seorang penulis itu harus punya tujuan yang jelas. Mau ngapain gitu lho dengan tulisannya. Dee cerita, kalau waktu SD itu, dia sudah punya tujuan / cita-cita bahwa suatu saat nanti saat ia jalan-jalan ke toko buku, di rak buku itu ada buku yang ditulisnya. Itulah yang membuat ia terus bertahan menulis.


Nah setelah punya niat dan tujuan, seorang penulis itu harus punya ide dong yah.

Tentukan Ide Cerita


“ Ah,ideku biasa aja nih”

“ Ah ideku tidak menarik “

“ Ah ideku pasaran, sudah banyak yang nulis”

Pernah berfikir seperti itu tidak?. Saya mah pernah banget. Tiap hari malah, hahaha.

Tapi…,yang namanya ide itu ya memang tidak ada yang baru. There’s nothing new under the sun. Ya iyalah ya, coba kita ingat-ingat, cerita Romeo and Juliet mah biasa banget yah idenya. Atau Cinderella, juga idenya pasaran, sinetron kita aja banyak yang niru ide Cinderella tapi dimodif . Jadi daripada pusing, tanamkan saja dalam hati bahwa semua ide itu sama dan biasa. 

Ide itu menjadi biasa atau luar biasa ya tergantung cara penceritaannya.

Cara penceritaan itu juga tergantung dari angle yang dipilih penulis untuk mengeksekusi ide yang biasa tadi. Angle atau sudut pandang akan mengubah segalanya.

Karena itu, yang namanya penulis harus memiliki “ Kamera Penulis”. Maksudnya tuh, kalau penulis itu melihat suatu benda atau objek, kamera bakal langsung roll on, merekam semua yang dilihat. Semua yang dipotret oleh kamera penulis itu masukkanlah dalam bank data yang sewaktu-waktu bisa dikeluarkan saat dibutuhkan. Kayak di Perahu Kertas, mobil yang dinamai Fuad itu adalah mobil temannya Dee yang ada di bank data dia. Jadi kamera penulis inilah yang membuat angle berbeda, dengan kamera ini, penulis berlatih untuk jadi pengamat yang baik.

Angle ini bisa dituangkan dalam prolog.

Misalnya dalam buku Dee , di KPBJ. “ Cerita ini bukan terjadi di Indonesia”. Nah ini adalah prolog, yang sebenarnya mengajak pembaca untuk melihat sama-sama dari perspektif penulis. Tapi  sebenarnya kalau penulisnya yakin, prolog ini tidak dibutuhkan, langsung saja memasukkan angle yang diambil penulis ke dalam cerita. Jadi ngga perlu berlindung di dalam prolog.

Angle itu bisa dituangkan dalam kalimat pembuka. Contohnya di buku Gelombang , diawali dengan kalimat “ Hutan dapat mengubah seseorang dalam sekali sentuhan.”

Menurut Dee, kalimat pertama itu hal yang sangat penting. Jadi, saat kita nulis ya nulis saja, tapi luangkan waktu kemudian untuk mengulik kalimat pertama yang tepat. Dicari dan dipikirkan supaya dapatnya pas dan enak banget. Soalnya kalimat pertama ini semacam preambul yang mendaratkan pembaca untuk ikut dalam angle yang kita lihat.


Biar jelas, Dee kasih lagi nih contoh kalimat pertama yang endang bambang, di Bab nya Alfa, Sianjur mula-mula , “ Sehari setelah aku berulang tahun, mereka menghadiahiku kegelapan”, jedeees, kena banget yah.

Bagaimana mendapatkan Ide yang disukai Penerbit atau pasar?

Nah ini nih masalah kebanyakan penulis pemula. Belum-belum sudah memikirkan pemikiran orang lain, pemikiran penerbitlah, selera pasarlah, memikirkan pendapat oranglah. Tulislah apa yang paling menarik bagi kita. Dee menyebutnya dengan rasa gatal yang tak kunjung usai, yang kita senang banget menguliknya, yang semakin digaruk semakin enak. Kebayangkan kalau pas lagi gatal-gatalnya terus digaruk,  mertua lewat pun ngga nampak sanking asoynya hahahah.

Semua orang itu punya rasa gatal yang berbeda-beda. Makanya setiap penulis itu berbeda-beda temanya, kayak Ayu Utami yang selalu mengangkat tema politik, religiolitas dan kegilaan. Atau Djenar Maesa Ayu yang selalu mengangkat tema seksualitas.

Jadi daripada mikirin apa nih rasa gatal yang lagi trend di masyarakat, mending temukan rasa gatal kita sendiri. Karena begitu kita ketemu rasa gatal itu, maka itu akan menjadi inspirasi yang tak kunjung usai.  

Lalu jangan juga memikirkan trend. Kalau mikirin trend, trend itu selalu berubah. Kayak waktu Laskar Pelangi booming, rame-rame orang nulis tentang autobiografi novel. Saat ayat-ayat cinta Booming, berserakanlah novel-novel ala padang pasir. Gelombang trend itu memang ada masanya. Nah itu bukan tugas kita untuk memikirkannya,  Itu sebenarnya tugas penerbit, kalau kita ngga kepilih berarti kita memang ngga masuk gelombang itu.  

Jadi mikirnya bukan apa yang penerbit suka, tapi pikirkan apa yang kita suka karena itu akan menjadi motivasi kuat untuk kita menulis.

Temukan tema yang kita suka, tekuni, dari situ nanti cerita akan mengalir dengan sendirinya

Find what you love and strict To it


Takar materi yang kita punya

Misalnya nih kita punya beras sekilo, ayam 3 ekor, bisa dong kita bikin lemper buat satu RT. Tapi kalau punyanya beras satu kilo, ayam setengah, paling bisa buat lemper buat sekeluarga doang. Jadi kita harus bisa menakar, ini kira-kira materinya bisa sampai berapa halaman ya. Gunakan intuisi saja untuk menakarnya. Kalau sudah sering  baca buku dan nulis pasti tahu yah, kayak buku Gelombang itu sekitar 80.000 kata, nah kalau kita merasa sanggupnya seperempatnya ya berarti sekitar 20.000 kata atau pengen buat 200 halaman.  Dari situ baru kita tentukan target. 

Tentukan target menulis

Target menulis ini tujuannya agar sesuatu yang terihat abstrak, mustahil, ngga mungkin itu menjadi lebih konkrit, lebih relaistis. Contohnya nih, kita mau nulis buku setebal setengah dari Gelombang deh, sekitar 40.000 kata . Nah target itu harus dikuantifikasi, maksudnya dipecah-pecah. Untuk itu , seorang penulis itu harus punya deadline.

Tentukan Deadline

Misalnya kita menetapkan deadline, bahwa kita akan menyelesaikan novel itu dalam 6 bulan. Nah terus ukur diri, dalam seminggu itu kita kira-kira bisa nulis berapa hari, misal 3 hari saja bisa nulisnya. Dalam 3 hari, berarti dalam 6 bulan kita punya waktu menulis sebanyak 72 hari . Maka tinggal dibagi 40.000 kata dibagi 72 hari, dapat angka 500 kata/hari. 500 kata itu kan kira-kira dua halaman saja ( saya barusan menghitungnya ^_^). Aduh kelihatannya ringan lah ya kalau cuma dua halaman perhari. Apalagi blogger kayak eikeh, nulis 500 kata mah baru pembuka. Tapi napa sampai sekarang tetap ngga punya buku heh, ngga malu apa sama laptop #toyor diri sendiri#. Apalagi kalau target waktunya dimolorin, jadi setahun, berarti satu halaman dalam satu hari dong,. Aaah keciiil xixixi.

Jadi, target yang kita buat ini bakal menganulir ketakutan-ketakutan kita. Yang dulunya berasa gelap jadi terlihat terang benderang, yang dulunya berasa aaaah berat banget, ngga mungkin lah bisa nulis novel, jadi terasa dapat pencerahan ya ngga?.

Bahkan kalaupun kita sehari-hari bekerja, itu juga bukan masalah, tinggal tentukan berapa jam bisa menulis. Masih terasa berat kurangi target kata/halamannya, tambahkan deadline waktunya, no problem. Karena intinya bukan berapa banyak halaman atau seberapa cepat deadlinenya tapi yang penting tulisan ini selesai, bukan hanya menjadi angan-angan belaka. Kita punya time frame, dan punya target menyelesaikannya. Kalau ngga , inilah yang sering terjadi, penulis-penulis wanna be (kayak saya), yang selalu berlindung dibalik alasan “ ngga moodlah”,  Ngga punya waktulah”, “ngga fokuslah” edebre edebre edebre.


Dengan demikian, kita sudah bisa menentukan saat mulai menulis di bulan Januari, berarti di Bulan Juni tulisan kita akan selesai. Kelak saat kita sudah menjadi penulis professional, kita sudah bersahabat dengan yang namanya deadline. Tapi ingat  jangan menulis dengan alasan deadline. Karena deadline ini adalah tools untuk bisa menyelesaikan tulisan. Alasan menulis itu yah untuk berbagi, untuk mengikat ilmu, untuk melihat dunia, whatever, tapi jangan menulis karena alasan deadline, catet.

Sumber:Instagram Dewi Lestari


Ketika nulis muncul ide lain

Jika ide itu tentang buku yang lain, maka kita harus kembali kepada deadline, bahwa kita harus focus ke tujuan awal. Dee sendiri mengakui bahwa ia tidak bisa membuat dua buku secara bersamaan. Kalau ada ide lain tulis saja entah di notes entah di laptop. Garap di lain waktu, atau setelah project yang sedang kita tangani selesai.


Dee menghimbau bagi siapapun yang memiiliki ide setengah matang, buku setengah matang, cerpen setengah matang, pilih satu dan komit, kuantifikasi, jadikan ia target yang konkrit. Dan begitu kita berhasil menyelesaikannya, maka persepsi dan attitude terhadap proyek-proyek kreatif lainnya kan berubah. Mendadak , aaah sebetulya semua bisa ditaklukkan.

Bagaimana caranya membuat novel yang Page turner ( ini pertanyaan guweh)

Page turner itu maksudnya, saat kita membaca sebuah karya, kita tuh tidak bisa berhenti untuk membacanya sampai akhir.

Sebelum kesana, kita harus tahu dulu itu, sebenarnya cerita itu apa sih?.

Cerita itu adalah rangkaian sebab akibat. Begitu kita kebalik nyeritain akibat dulu baru sebab, maka yang tiba-tiba mengalir menjadi stuck. Jadi, jangan dibalik. Ini sebenarnya logika, tapi kita sering luput.

Dee sendiri baru menyadarinya saat ia menulis Madre. Dulunya ia selalu menutup bab yang belakangnya conclusive alias tertutup. Dee baru sadar bahwa yang membuat orang tertarik untuk terus membaca adalah rasa penasaran, habis ini apa yah habis ini apa yah. Penutup bab yang conclusive tidak menghadirkan perasaan seperti itu. Untuk membuat cerita yang page turner, setiap bab harus kita akhiri dengan tanda tanya.

Itu kalau ngomongin novel, kalau ngomongin kalimat, perhatikan tiap membuat kalimat,  mana yang datang duluan, sebab atau akibat. Begitu kita rapi membuatnya sebab akibat sebab akibat, walaupun ceritanya biasa saja, tapi orang akan terus mengikuti. Itu rumusnya.

Perlu ngga Diksi yang Indah, Yang menghanyutkan?

Kata-kata indah bagi Dee lebih banyak mengungkapkan diri penulis daripada isi cerita. Ia lebih senang saat membaca sebuah karya, ia ditenggelamkan dalam cerita daripada ia tahu kepiawaian penulis. Buat Dee lebih sulit menjadi penulis yang tidak kelihatan di buku, yang begitu pembaca membaca novel, langsung engage dengan ceritanya. Bukan “ Gila nih kata2nya bagus banget nih buat di instagaram” hahaha.

Ibaratnya bermain Puppet on the string ( bener ngga ya ini?). Permainan itu menarik karena dalangnya ngga kelihatan. Kita cuma melihat yang terjadi pada boneka-bonekanya. Begitu tangan dalangnya muncul imajinasi kita buyar. Begitu jugalah penulis.

Bagaimana Fiksi Yang Bagus itu ?

Fiksi yang bagus adalah fiksi yang menggabungkan imajinasi dan realitas. Fiksi yang bagus  adalah fiksi yang seimbang antara yang bokis dengan yang nyata, Kita tahu ini fiksi tapi ada beberapa hal dalam fiksi itu yang kita ingin untuk menjadi real. Contohnya di novel Partikel, bukit jambul itu tidak real, tapi begitu ditubrukkan dengan hal yang real yaitu Kota Bogor, maka seolah-olah itu nyata.

Contoh lain adalah kopi tiwus di Filosofi Kopi. Kopi tiwus itu fiksi. Namun saat Kopi tiwus ditubrukkan dalam cerita dengan petani kopi, dengan espresso, dengan cafelatte, sesuatu yang memang ada, maka seolah-olah kopi tiwus itu menjadi sesuatu yang riil.  Dengan begitu cerita punya daya samar seolah-olah riil dengan mengkombinasikan antara imajinasi dan realitas.

Jadi tubrukkan imajinasi dengan hal yang riil.

Bagaimana membangun Karakter yang hidup?

Tipsnya, beri kebiasaan dalam tokoh kita agar manusiawi.

Contohnya seperti di  “Perahu Kertas” . tokoh Kugi punya kebiasaan menghanyutkan perahu kertas, suka kura-kura ninja, suka mendengarkan lagu-lagu eighties. Hal-hal seperti itu akan membuat tokoh riil. Karena kita sendiri juga seperti itu. Ini akan membuat tokoh hidup, dan membuat realitas dan imajinasi semakin padu.

Bagaimana mengolah humor supaya terlihat cerdas

Patokannya, pastikan saat kita menulis itu kita pun ikut tertawa. Sama halnya saat kita menulis hal yang sedih kita pun ikut nangis. Karena penulis itu modalnya satu yaitu conviction, yaitu keyakinan. Untuk menimbulkan conviction itulah diperlukan riset

Pentingnya Riset

Riset dibutuhkan agar penulis menjadi yakin tentang apa yang ditulisnya. Kalau penulis sudah yakin, maka pembaca pun bisa dibuatnya percaya, walaupun itu hanya fiksi belaka.

Riset itu ada beberapa jenis:
  • Riset Pustaka : melalui buku, literature, majalah, Koran
  • Internet : seperti  link video, foto, berita internet
  • Wawancara : dengan narasumber yang pernah datang ke satu tempat atau pernah mengalami suatu kejadian
  •  Datang langsung ke suatu tempat

Dimana-mana riset itu ya sama saja, seperti itu.  Yang membedakan adalah conviction penulis. Dee mulai menggunakan narasumber saat menulis “ Akar”. Sebelum-sebelumnya, seperti di KPBJ, ia sama tidak pakai riset-risetan, murni hanya berasal pemikirannya saja.  Ngga pakai riset saja sudah keren ya tulisannya, apalagi pakai riset.

Saat melakukan riset untuk “ Akar” di tahun 2001 , Dee melakukan wawancara dengan orang yang melakukan perjalanan yang sama dengan Bodhi. Guess what, siapa nama yang diwawancarainya?. Namanya Budi, hahahaha, ngakak saya dengernya. Ia mendengarkan cerita Budi, setelah selesai, sampai di rumah, barulah Dee sadar, ada kesalahan yang dibuatnya. Bahwa yang diambil Dee dari Budi adalah hanya cerita Budi , ia belum menjadi Budi.  Maka ia kembali lagi ke si Budi, dan melakukan wawancara dengan cara yang berbeda dari sebelumnya.

“Bud disana itu kayak apa, pohonnya seperti apa, ada pohon pisang ngga?, tanahnya kamu lihat warna apa, Udara disana seperti apa lembab atau gimana, bikin cepat keringetan atau ngga?”

Pokoknya ia berusaha melihat dari matanya si Budi, menggunakan panca indera Budi. Walau itu semua sih tidak ditulis di novel. Oya, hasil riset itu paling hanya 10 persen saja yang masuk dalam cerita. Tapi 90 % nya lagi bukanlah sampah, itu akan menjadi modal untuk conviction si penulis,  membuat yakin pernah disana walau belum pernah kesana, karena kita sudah meminjam panca indera si narasumber.

Jadi,  gunakan panca indera.  Kalau bertanya ke narasumber tanya apa yang ia rasakan, tekstrurnya, baunya. Hal ini yang membuat cerita tampak hidup. Bukan semata-mata karena penulis jago mendiskrisikan tapi karena ia punya conviction .

Tentang Sudut pandang tokoh

Sudut pandang itu ada tiga jenis


1. Sudut pandang orang pertama : Aku , Saya

Ini yang paling gampang dan paling dekat, karena pembaca langsung menjadi aku, langsung merasakan menjadi si tokoh. Makanya tokoh Alfa itu terasa begitu dekat karena pakai sudut pandang aku, lain ceritanya kalau memakai sudut pandang lain.

2. Sudut pandang orang kedua : kamu

Biasanya ini untuk menulis surat

3. Sudut Pandang Orang Ketiga : Dia, Mereka

Sudut pandang orang ketiga ini terbagi dua lagi, ada yang terbatas dan ada yang tidak terbatas. Terbatas itu contohnya, kita mengikuti sudut pandang si Putri, tapi hanya sebatas itu. kita tidak bisa berbicara tentang pikirannya si Dewi, kecuali kita berpindah menjadi Dewi.  

Kalau tidak terbatas itu seperti Tuhan, ia bisa tahu pikiran orang.

Disini penulis harus hati-hati. Kadang di fiksi , penulis memakai sudut pandang orang ketiga terbatas tapi bisa tahu pikiran orang, kan jadi ngga match.

Setelah tahu dasar-dasarnya, nah baru kita masuk ke bagian intinya.

Sebuah novel itu terdiri dari 3 bagian besar

  1. Pembuka/setting/pengenalan tokoh
  2. Konflik
  3. Penyelesaian
Porporsinya itu setting, pengenalan tokoh, ngga harus panjang-panjang. Nah babak kedua, itu mulai terjadi konflik, jadi babak ini yang harus banyak ditulis, harus lebih gendut dibanding bagian lain, Bagian 2 ini, dimulai saat ia keluar dari zona nyamannya. 

Kalau di Gelombang, bagian dua ini dimulai ketika ia pergi ke Jakarta. Katalisatornya adalah saat ia bertengkar dengan Togu Urat.  Di bagian 2 ini, pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan. Setiap mau ketemu jawaban, ada halangan, mau ketemu lagi ada halangan. Intinya kita menanam pertanyaan, dan mengusahakan jawabannya. Namun dijawab salah, dijawab salah, dijawab benar eh ternyata ada sesuatu dibaliknya, begitu seterusnya, sampai pertanyaan itu beneran terjawab. Kalau sudah demikian lanjut ke bagian 3, penyelesaian. Makanya bagian 3 ini ngga usah panjang. Karena begitu tidak ada pertanyaan ya sudah tidak ada yang menarik, tinggal penyelesaian.


Bagaimana teknik menyusun cerita?

Teknik setiap orang itu berbeda-beda, ada yang buat outline, ada yang buat kerangka. Untuk menulis cerita dengan ratusan halaman, teknik menyusun cerita itu perlu dilakukan agar tidak kehabisan nafas di tengah jalan.

Cara paling sederhana adalah dengan menggunakan Timeline

Seperti kisah Bodhi pada Akar. Karena memang Bodhi itu hidupnya kronologis.1978 dia ngapain, 1990 dia ngapain, kapan dia harus sampai dimana, di tahun berapa ada kejadian apa. Ini namanya menyusun peristiwa atau kejadian.


Tapi, masalahnya setiap peristiwa tidak selalu mengandung story.  Tugas penulislah menemukan cerita itu.


Itu teknik sederhana untuk novel dengan materi yang tidak terlalu kompleks.

Ada cara lain, yaitu Mind Map

Mind map ini dibuat per tokoh.kayak dibawah ini.


Contohnya Firas. Dibuat perkantong-kantong. Kantong profesi, kantong karakter, kesukaan, konflik dengan siapa, apa obsesinya . Dari situ bisa bercabang lagi, missal obsesi Firas itu bukit jambul. Nah dari bukit jambul ada lagi yang bisa diceritain, begitu seterusnya. Kita akhirnya malah punya bahan yang begitu banyak. Mendadak dari yang tadinya kosong, jadi mempunyai begitu banyak hal yang mau diceritakan. Dan ini sebaiknya dimulai dari sebelum menulis. Kenapa?

Karena dalam menulis, kayak yang dibilang di  tadi , penulis  harus punya tujuan. Jadi misalnya kita ada di A mau menuju pulau B. Nah untuk menuju ke pulau B itu, ngga cukup dipikirkan di awang-awang, tapi harus dituliskan.

Untuk itu ada cara berikutnya yaitu teknik Ciprat Ciprat

Buatlah pulau-pulau kecil yang menjadi peristirahatan sebelum sampai B sehingga penyeberangan kita menjadi pendek-pendek.





Gimana kalau tidak runut ?

Ngga masalah, yang penting kita tidak berhenti. Jadi bisa saja, pulau yang ini udah terpikir yang ini belum, terus aja gitu, lama-lama cerita itu bakal tersambung dengan sendirinya.

Kalau Mentok?

Yang paling gampang untuk menggerakkan cerita adalah bukan karakter, bukan setting tapi mulailah dengan satuan terkecil yaitu adegan. Mulailah dengan adegan, karena adegan itu sesuatu yang dinamis. Dia bukan narasi. Narasi fungsinya memperlambat, sedangkan adegan/ dialog fungsinya mempercepat tempo.

Cerita yang asik adalah cerita yang mengatur antara narasi dan dialog, seperti kalau nyetir mobil, rem-gas-rem gas.
Jadi begitu mentok, kembali ke adegan, mentok kembali ke adegan. Jadi bayangkan misalnya tokoh A, langsung pikirkan apa adegannya. Jadi langsung punya pulau baru untuk mulai mengambil tenaga lagi. Yang penting cerita jangan berhenti, karena semakin lama kita berhenti, maka kecepatannya semakin turun semakin turun, makin susah untuk ngegas dan bergerak lagi.

Dee menyebut  teknik ini dengan “ ciprat ciprat”.

Ngga perlu urut, pokoknya mana yang terpikir tulis, terfikir tulis, cipratan-cipratan ini lama –lama akan membentuk pulau besar.

Teknik lain, Teknik Karton

Biar gampang, bisa kita contoh cara Dee ini, buat empat karton besar, yang mewakili tiap babak, tempel di dinding.



Sumber : Instagram Dewi Lestari

Post it –post it yang ditempel itu merupakan adegan-adegan. Adegan yang ditulis singkat-singkat saja, misalnya Elektra ketemu bodhi. Elektra nyetrum bodhi.  Dengan menggunakan psot it-post it , cerita yang tadinya berserakan , bisa kita susun sesuka hati.

Ngga perlu nunggu tamat ngisi kartonnya baru mulai nulis, tidak mengapa mulai saja menulis sambil menemukan adegan-adegan yang bisa mengisi kekosongan.

Hwaa, sampai disini gimana nih, asik banget yah cara Dewi Lestari ngasih pemahaman soal menulis. Tapi tunggu masih panjang lho ceritanya. nanti saya lanjutkan di tulisan berikutnya yah. Tentang ide awal lahirnya Supernova, siapa yang menginspirasi Dee dalam menulis. dsb dsb  Ini nulisnya nyicil xixixi.  Tungguin yah.

Tapi ada yang penting nih diinfoin. Setelah acara selesai, diumumkanlah pemenang live tweet yang mendapatkan hadiah lunch bareng Dee. And...... eng ing eng, pemenangnya adalah..... yup saya sendiri hahaha. senangnya ^_^

Sampai ketemu di tulisan selanjutnya yah. disini nih