Sabtu, 27 September 2014

Tentang Sudut Pandang

Peribahasa tak kenal maka tak sayang itu memang sungguh-sungguh benar adanya. 

Paling sebel sama orang yang ga kenal sama kita terus dengan seenaknya menilai diri kita dari apa yang dilihatnya. Apalagi di dunia maya, dimana diri kita hanya dinilai dari status dan tulisan beberapa karakter yang kita share. 

Belakangan banyak banget yang lagi happening di sosmed yang sampai saat ini masih saya gandrungi, facebook. Mulai dari polemik perkalian, larangan tayang kartun oleh KPAI, sampai yang tergress adalah tentang Pilkada langsung.


Bukan mau membahas soal rame-rame pendapat orang tentang masalah di atas, tapi tentang opini penghuni dumay terhadap status-status yang kita share. 

Pikir dulu ribuan kali sebelum memposting sesuatu di sosmed.

Ngga bisa lebih setuju dari kalimat di atas.

Tapi...... saat pendapat seseorang atau hal-hal yang di share ternyata membuat orang lain tidak nyaman, atau tidak sejalan dengan pikiran orang-orang, apakah itu dianggap ia tidak berfikir saat membiarkan tulisan/pendapat/opini/status nya menjadi milik publik?.

Atau saat kalimat-kalimat yang dirangkai membuat kening berkerut, apakah ia lagi pamer kecerdasan, sok pinter gitu?.

Lagi-lagi, hanya masalah sudut pandang.

Sudut pandang, terbentuk dari banyak hal, pengalaman, lingkungan, kepribadian, karakter, kebiasaan, dll. 
Maka , mengatakan pendapat seseorang SALAH, tanpa mengenal orang tersebut, cara berfikirnya, cara bertuturnya, adalah merupakan suatu kenaifan. 

Kita tidak bisa melarang orang lain untuk beropini, itu haknya. Namun memaksakan pendapat kita ke orang lain itu yang salah.

Menurut saya, saat kita melihat status teman dan merasa tidak sependapat dengannya. Lei it go..... ngga usah dipermasalahkan, dirame-ramein, manggil orang sekampung buat ikutan komen disitu untuk membuktikan bahwa kita benar dia salah

Itulah seninya bersosial media, dimana kita bisa temukan berbagai karakter orang, berbagai cara berargumen, dan berbagai status yang sedikit banyak menggambarkan seperti apa si pemilik akun. kalau bermanfaat ambil, ngga bermanfaat  ya ngga usah dipikirkan. 

Memaksakan apa yang kita pikirkan ke orang lain?, percayalah kalau untuk satu hal yang pasti seperti bumi itu bulat saja, ada yang berbeda pendapat apalah lagi isi kepala orang. Jadi saat tidak sependapat, berargumen dengan baik bisa menjadi pilihan, tapi tidak memaksakan isis kepala kita harus sama dengan orang lain. Menuntut seseorang hanya membuat status di sosmed sesuai dengan norma yang kita anggap benar, harus yang menginspirasi adalah hal yang lucu. 

Bagaimana orang bertindak, itu adalah tanggung jawabnya
Bagaimana reaksi kita atas yang dilakukan orang lain, itu tanggung jawab kita


Macam-macam tujuan orang bersosmed.
Ada yang buat jualan
Ada yang buat membentuk image
Ada yang buat nemuin kawan lama
Ada yang buat ajang eksis
Ada yang buat dokumentasi foto-foto
Ada yang buat hiburan semata

Jadi ngga bisa dong, kita bilang sharing sesuatu itu yang bermanfaat saja. karena bermanfaat bagi kita belum tentu bagi orang lain, demikian juga sebaliknya.

Just cotrol yourself

Suka, like, ngga suka lewati, sesimpel itu. Mau berargumen, silahkan. Namun saat yang punya status merasa ngga nyaman jangan dipaksain.

Jadi ingat , saat rame-ramenya  Jonru mempermasalahkan Tere Liye yang suka memblokir orang. Duh, terkadang orang di FB ini lebay banget, diblokir aja seakan-akan dunia kiamat. Biasa aja..... sama aja kok seperti di dunia nyata, dimana kalau kita ngga nyaman sama seseorang, ada baiknya menghindar dahulu, daripada saat ketemu malah sewot-sewotan. 

" Tapi aku ngga pernah lho blokir orang, unfriend orang, unfollow".
Bagus dong. Tapi bagus bagimu belum tentu bagus bagiku. Sekali lagi, hanya masalah sudut pandang

Padahal , blokir itu menurut saya solusi, bukan berarti kita benci atau tidak suka dengan orang yang diblokir, tapi semata untuk melindungi diri sendiri dari penyakit hati. Laaah, kalau sehari-hari lagi berkonflik sama orang lain, ngga salah kan kita menjauh dulu, cooling down biar adem. Kalau udah adem ya berteman lagi, gitu aja kok repot.

Lagian, kalau yang boleh bikin status cuma orang-orang lucu kayak mas arham kendari , atau yang menginspirasi kayak mba jihan, atau yang pinter kayak mas cepi sabre, wah FB jadi ngga asik lagi ah. Dan saya pun lebay banget buat tulisan ini xixixi.

Terinspirasi dari bang Ochan, setuju banget dengan kata-katanya si Tere yang penyanyi itu

Tiada yang salah dengan perbedaanDan segala yang kita punyaYang salah hanyalah sudut pandang kitaYang membuat kita terpisah

Karna tak seharusnyaPerbedaan menjadi jurang

Bukankah kita diciptakanUntuk dapat saling melengkapiMengapa ini yang terjadi

Mestinya perbedaan bukan alasanUntuk tak saling memahamiHarusnya cinta bisa memberi jalanDan satukan semua harapan

 Karena Saat kamu Benar, Belum Tentu Orang lain Salah



Jumat, 26 September 2014

Money Can't Buy Happiness??

Jadi………….. 4x6 itu sama ngga dengan 6x4?

Topik yang lagi happening banget di social media, bahkan sampai dibahas di surat kabar, melibatkan para pakar matematika, dibahas dari segi ilmu alam, ilmu logika sampai dari tinjauan budaya.

Kalau menurut saya pribadi, 4x6 jelas sama dengan 6x4, absolutely jika kita membicarakan hasil, yaitu sama-sama 24.


Namun 4 x 6 tidak sama dengan 6 x 4 jika yang kita bicarakan adalah cara menjabarkannya dalam bentuk penjumlahan berulang.

4 x 6 ( empat kali enam) = 6+6+6+6
6 x 4 ( enam kali empat) = 4+4+4+4+4+4

Walaupun hasilnya sama, namun pembelajaran tentang konsep dasar, baik itu perkalian, penjumlahan, pengurangan maupun pembagian sangat diperlukan oleh anak-anak kita. Agar mereka tidak tumbuh menjadi generasi yang hapal mati,generasi instan tanpa tahu filosofi ilmu yang dipelajari.

Kemarin saya membuat status di facebook yang isinya menanyakan mana yang lebih penting hasil atau proses?. Dan semua teman yang komentar menjawab bahwa proseslah yang paling penting.

Mari kita bicara kenyataan. Contohnya di dunia kerja, bagaimananpun kerasnya kita bekerja, pergi pagi, lembur sampai tengah malam kalau ternyata tidak menghasilkan apa-apa, penjualan tidak naik, laba tidak tercapai, maka penilaian terhadap kinerja kita di atas kertas tidak sebanding dengan kerja keras yang kita lakukan. Jadi yang dilihat bukan seberapa lama waktu yang kita habiskan di kantor tapi seberapa besar hasil yang bisa kita berikan ke perusahaan.

Tidak hanya di perusahaan yang laba oriented, perusahaan jasa pun memiliki service level agreement yang baku. Kita dianggap bekerja dengan baik saat SLA yang ditetapkan terpenuhi. Saya ambil contoh pak pos, sebagai pelanggan terkadang kita tidak peduli apa halangan yang dihadapi beliau saat mengantarkan paket kita. Mungkin saja kejebak macet, motornya rusak, atau halangan-halangan lain. Pokoknya kita menilai bagus tidaknya pelayanan pos dari seberapa cepat paket tiba ke si penerima.

Ambil lagi contoh lain, seorang dokter  misalnya. Sebagai pasien kita akan kembali ke dokter yang sebelumnya kita datangi apabila telah terbukti bahwa setelah berobat dengan beliau penyakit kita sembuh. Tak peduli betapa baiknya si dokter, lemah lembut, sabar mendengar kita bercerita, kalau ujung-ujungnya penyakit kita tidak sembuh, maka sangat kecil kemungkinan kita akan kembali kepada dia. Bahkan seorang dokter kandungan terkenal sekalipun, jika ternyata tidak berhasil membuat pasiennya hamil, kemungkinan besar si pasien tidak akan merekomendasi dan mengakui kehebatan si dokter.

Kalau dihubungkan ke dunia pendidikan, saat UN digelar, atau saat UMPTN jamannya saya dulu. Setelah belajar selama 12 tahun dari SD hingga SMA, akhirnya penentuan masa depan itu ( kata sebagian orang) ditentukan dalam ujian selama 2 hari saja.

Kenyataannya, beberapa teman saya yang saat di SMA begitu pintar, selalu bisa menjawab pelajaran, rangking dari kelas 1 sampai 3 ada yang tidak lulus UMPTN. Apakah adil hanya melihat hasil test 2 hari saja, padahal selama 12 tahun sebelumnya mereka adalah pelajar berprestasi. Nah, bagaimana ini?. Yang penting proses atau hasil sih?.

Masih banyak contoh lain di kehidupan nyata yang menegaskan bahwa bagaimanapun prosesnya, semua tetap bermuara kepada hasil.

Sebagai orangtua apa yang harus kita ajarkan kepada anak kita. Proseskah atau hasil oriented?.

Menurut saya keduanya harus seimbang dan sejalan. Memisahkan dan menempatkan salah satunya di posisi lebih penting, sama seperti memisahkan opor ayam dengan ketupat saat lebaran, akan hambar.

Saya sependapat bahwa proses itu sangat penting, karena dalam berproses itulah kita belajar. Penanaman konsep kepada anak seperti meletakkan pondasi yang kuat untuk tempat ia berpijak. Namun yang tak bisa diabaikan, bahwa di kehidupan nyata, hasil tetap merupakan hal yang dinilai, dan hasil  juga yang kita nikmati. Sunatullahnya kalau prosesnya baik, maka hasilnya juga akan baik.

Mengajarkan pentingnya hasil pada anak, bukan berarti kita menggiring anak untuk menjadi matrealistis atau menjadi generasi instan. Hanya saja, orangtua juga perlu memberitahu anak kenyataan yang terjadi di kehidupan sehari-hari, tidak hanya berkutat pada kondisi ideal. Biar nantinya ia siap menghadapi kejamnya dunia.

Lagipula dalam agama,kita kerap dianjurkan berbuat baik (proses) namun jg diminta untuk selalu berdoa agar mengakhiri hidup dalam keadaan khusnul khotimah (hasil)

Seperti kata Jessie J, penyanyi kesukaan saya

 Money can’t buy us happiness
But, somehow it’s much more comfortable to cry in Lamborghini,while eating a bowl of ice cream and a box of chocolate than on a bicycle # eeea malah bikin galau


 Jadi, kalau menurut kamu, penting mana nih, Hasil atau proses?



Jumat, 05 September 2014

Men " Jamu" di Negeri Sendiri

Walau bukan termasuk obat , khasiat jamu tradisional secara turun temurun telah diwariskan oleh leluhur bangsa Indonesia.  Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan jamu ada di negeri kita ini, namun dokumentasi tertua tentang jamu bisa kita lihat pada relief Candi Borobudur ( Tahun 772 M), dimana terdapat lukisan tentang ramuan tradisional atau jamu di atasnya. Selain di Candi Borobudur, dokumentasi tentang jamu juga bisa kita temui pada relief Candi Prambanan , Candi Tegalwangi yang menerangkan tentang penggunaan jamu pada zaman dahulu.


Meskipun identik dengan budaya Jawa, namun penggunaan jamu sudah tersebar ke seluruh pelosok nusantara. Tak terkecuali di daerah Sumatera Utara tempat tinggal saya. Selepas melahirkan putri pertama, ibu saya langsung memberikan ramuan berbagai jamu pada saya selama 40 hari. Mulai dari minuman, pilis, param sampai perawatan tubuh yang berasal dari ramuan Jamu.




Meminum jamu pasca melahirkan dipercaya dapat mengencangkan otot-otot perut yang kendur, mengembalikan stamina, memperlancar ASI, membersihkan darah kotor dalam rahim, membantu pemulihan luka, dan membantu proses pengerutan rahim ke ukuran semula.

Entah karena pengaruh jamu-jamuan tersebut atau tidak, proses nifas saya berlangsung tepat waktu, selesai dalam 40 hari.


Walaupun banyak dijual jamu praktis paket pasca melahirkan, saya lebih suka jamu tradisional yang dibuat langsung. Jamu kesukaan saya adalah kunyit asem, karena rasanya yang segar dan cenderung manis.

Selain minum jamu, saya juga dikasih pilis sama ibu, yang dioleskan di kening. Manfaatnya untuk menghilangkan pusing dan mencegah darah putih naik ke kepala. Tapi tentu saja, agar hasilnya maksimal, saya juga harus menjaga waktu tidur yang cukup dan mengurangi konsumsi garam.

Selain itu, saya juga memakai param yang dioleskan ke seluruh tubuh, kecuali daerah payudara dan perut. Manfaatnya untuk mengurangi pembengkakan yang dialami sisa-sisa masa kehamilan. namun yang paling saya rasakan manfaatnya adalah rasa hangat di sekujur badan, membuat nyaman.



Dan yang terakhir, Tapel. Dicampur dengan kapur sirih dan jeruk nipis, dibalurkan ke perut sebelum menggunakan stagen. Aduuuh, gatal sekali rasanya. Namun lagi-lagi rasa hangat yang dihasilkannya membuat saya betah memakainya. Apalagi katanya tapel bermanfaat untuk mengeluarkan angin dalam tubuh, selain itu bermanfaat juga untuk mengurangi selulit.

Waduh, repot sekali ya kedengarannya. Memang sedikit merepotkan. Bagi saya, itulah salah satu cara saya melestarikan budaya turun temurun yang telah membudaya di masyarakat.  Lagipula, impian untuk kembali singset seperti sedia kala membuat saya rela saja menjalankannya. Namun, bagi ibu yang melahirkan secara caesar mungkin perlu ditanyakan dahulu ke dokter, boleh tidaknya melakukan perawatan ini.


Langsung Singset :)
Namun walau demikian, untuk memantapkan hati, sebelum mengkonsumsi jamu untuk pemulihan pasca melahirkan, saya berkonsultasi dulu ke dokter. Menurut dokter bagi ibu yang memiliki gangguan fungsi hati sebaiknya tidak mengkonsumsi jamu dahulu, karena proses metabolisme jamu itu di hati. Jamu juga tidak disarankan untuk ibu yang mengalamai komplikasi saat persalinan, karena bisa membuat rahim berkontraksi secara berlebihan. Selain itu, jika ada obat-obatan yang harus diminum si ibu, sebaiknya tidak dikonsumsi bersamaan bersama jamu, diberi jeda 1-2 jam.

Saat kecil, saya paling anti sama yang namanya jamu, disamping aromanya yang menusuk juga rasanya yang pahit di lidah, kalaupun ada mbok jamu yang dipanggil ibu ke rumah, saya pasti memilih meminum gula jawanya saja.

Namun, seiring perkembangan jaman, jamu yang dulunya berbentuk minuman langsung, bertransisi menjadi jamu berbentuk serbuk dalam kemasan. Selain serbuk, bagi kita-kita yang tidak tahan dengan pahitnya rasa jamu, sekarang memiliki alternative pilihan mengkonsumsi jamu dalam bentuk pil dan kaplet.




Antara Jamu, Herbal Terstandar dan Fitofarmaka



Bahan Pembuat Jamu

Jamu terbuat dari tumbuh-tumbuhan tradisional yang dengan mudah kita dapati di Indonesia, seperti jahe, kunyit, temu lawak, asam jawa, lengkuas, kumis kucing,kayu manis hingga sambiroto. Selain dari tumbuhan, ada juga beberapa jamu yang menggunakan bahan yang berasal dari hewan. seperti empedu kambing dan telur ayam kampung. Jadi agak keliru kalau kita menyebut jamu sebagai obat herbal. Pertama, karena jamu bukanlah obat, dan kedua, tidak semua jamu diolah dari tumbuhan. 



Jamu
Jamu merupakan bahan obat alam yang sediannya masih berupa simplisia sederhana, seperti irisan rimpang, daun atau akar kering. Sedang khasiatnya dan keamanannya baru terbukti setelah secara empiris berdasarkan pengalama turun-temurun. Sebuah ramuan disebut jamu jika telah digunakan masyarakat melewati 3 generasi. Artinya bila umur satu generasi rata-rata 60 tahun, sebuah ramuan disebut jamu jika bertahan minimal 180 tahun.

Sebagai contoh, masyarakat telah menggunakan rimpang temulawak untuk mengatasi hepatitis selama ratusan tahun. Pembuktian khasiat tersebut baru sebatas pengalaman, selama belum ada penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa temulawak sebagai antihepatitis. Jadi Curcuma xanthorriza itu tetaplah jamu. Artinya ketika dikemas dan dipasarkan, prosuden dilarang mengklaim temulawak sebagai obat.

Selain tertulis "jamu", dikemasan produk tertera logo berupa ranting daun berwarna hijau dalam lingkaran. Di pasaran banyak beredar produksi kamu seperti  Tolak Angin (PT Sido Muncul), Pil Binari (PT Tenaga Tani Farma), Curmaxan dan Diacinn (Lansida Herbal), dll.

Herbal Terstandar
Jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi herbal terstandar dengan syarat bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang terstandarisasi. Disamping itu herbal terstandar harus melewati uji praklinis seperti uji toksisitas (keamanan), kisaran dosis, farmakodinamik (kemanfaatan) dan teratogenik (keamanan terhadap janin).

Uji praklinis meliputi in vivo dan in vitro. Riset in vivo dilakukan terhadap hewan uji seperti mencit, tikus ratus-ratus galur, kelinci atau hewan uji lain.
Sedangkan in vitro dilakukan pada sebagian organ yang terisolasi, kultur sel atau mikroba. Riset in vitro bersifat parsial, artinya baru diuji pada sebagian organ atau pada cawan petri. Tujuannya untuk membuktikan klaim sebuah obat. Setelah terbukti aman dan berkhasiat, bahan herbal tersebut berstatus herbal terstandar.

Meski telah teruji secara praklinis, herbal terstandar tersebut belum dapat diklaim sebagai obat. Namun konsumen dapat mengkonsumsinya karena telah terbukti aman dan berkhasiat. Hingga saat ini, di Indonesia baru 17 produk herbal terstandar yang beredar di pasaran. Sebagai contoh Diapet (PT Soho Indonesia), Kiranti (PT Ultra Prima Abadi), Psidii (PJ Tradimun), Diabmeneer (PT Nyonya Meneer), dll. Kemasan produk Herbal Terstandar berlogo jari-jari daun dalam lingkaran.

Fitofarmaka
Sebuah herbal terstandar dapat dinaikkan kelasnya menjadi fitofarmaka setelah melalui uji klinis pada manusia. Dosis dari hewan coba dikonversi ke dosis aman bagi manusia. Dari uji itulah dapat diketahui kesamaan efek pada hewan coba dan manusia. Bisa jadi terbukti ampuh ketika diuji pada hewan coba, belum tentu ampuh juga ketika dicobakan pada manusia.

Uji klinis terdiri atas single center yang dilakukan di laboratorium penelitian dan  multicenter di berbagai lokasi agar lebih obyektif. Setelah lolos uji fitofarmaka, produsen dapat mengklaim produknya sebagai obat. Namun demikian, klaim tidak boleh menyimpang dari materi uji klinis sebelumnya. Misalnya, ketika uji klinis hanya sebagai antikanker, produsen dilarang mengklaim produknya sebagai antikanker dan antidiabetes.

Kemasan produk fitofarmaka berupa jari-jari daun yang membentuk bintang dalam lingkaran. Saat ini di Indonesia baru terdapat 5 fitofarmaka, contoh Nodiar (PT Kimia Farma), Stimuno (PT Dexa Medica), Rheumaneer PT. Nyonya Meneer), Tensigard dan X-Gra (PT Phapros).

Jadi, jamu adalah jamu, herbal adalah herbal, dan obat-adalah obat. Menyamakan jamu sebagai obat dikhawatirkan bisa menimbulkan kekeliruan di masyarakat, karena jamu belum teruji secara klinis di dunia kedokteran. Maka, marilah kita terima jamu sebagai jamu.

Modifikasi Jamu

Selama ini, kebanyakan masyarakat mengenal jamu hanya berupa minuman saja. Padahal beberapa produsen jamu di Indonesia telah mengembangkan jenis jamu ke dalam bentuk lain, seperti sebagai bahan perawatan tubuh seperti yang saya paparkan di atas, sebagai penjaga kecantikan, bahkan sudah merambah ke dunia kecantikan dan dipergunakan di salon-salon mahal sebagai bahan spa dan treatment kecantikan. Jamu juga hadir dalam bentuk makanan seperti permen dan coklat.


Jamu kecantikan
Jika di masa lalu, jamu hanya tenar di pedesaan yang identik dengan mbok jamu dengan jarik dan tentengan ember kecil, maka saat ini penjualan jamu telah bermetaformosa dalam berbagai bentuk. Mulai dari jamu gendong, jamu dorong, jamu sepeda, jamu kios sampai restoran dan cafe jamu. Bahkan outlet-outlet jamu mewah bisa kita temui di Mall-mall besar  di Jakarta bahkan di luar negeri. Dengan kata lain, jamu telah mengalami modernisasi dan go internasional.

Apakah itu kabar gembira bagi kita?

Seperti dua sisi mata uang yang memiliki gambar yang berbeda, demikian juga halnya dengan perkembangan industri jamu belakangan ini. Semakin meluasnya pemasaran jamu dan penggunaan jamu dalam masyarakat kita sehari-hari mendorong para produsen jamu berlomba memenuhi permintaan pasar. 

Dalam prinsip ekonomi, tentu saja para pelaku industri mengharapkan keuntungan maksimal dalam setiap produk yang mereka jual. Semakin tingginya harga bahan-bahan dasar pembuat jamu tradisional, membuat industri mengembangkan pembuatan produk jamu berbahan kimia atau jamu yang mengandung bahan kimia obat. Akibatnya, kondisi di dalam negeri, produk jamu tradisional kalah pamor dibanding dengan jamu kimia. Bisa kita lihat di gerai-gerai supermarket, jamu kimia lebih banyak berjejer dibanding jamu tradisional.

Tidak heran, produsen jamu tradisional, seperti Nyonya Meneer atau Sido Muncul berpaling ke pasar luar negeri. Pasar di luar negeri antusias dengan jamu tradisional karena orang-orang masa kini menyukai hal-hal yang bersifat natural, green dan berbahan alamiah seperti jamu tradisional. Hal ini menggembirakan sekaligus memprihatinkan.

Kenapa?
Ya, menggembirakan, karena dengan begitu, jamu akan lebih mendunia. Namun juga ada hal-hal yang merugikan bagi kelestarian jamu kita.

Jamu tradisional kita terdesak oleh jamu berbahan kimia atau jamu yang mengandung bahan kimia obat.Padahal banyak jamu-jamu tersebut sudah mendapat public warning, namun masih beredar di pasaran. Data menunjukkan, di tahun 2012 omzet industri jamu bisa mencapai Rp 13 trilyun. Dari angka itu, sekitar Rp 3 trilyun merupakan omzet penjualan jamu tradisional. Sisanya adalah penjualan produk jamu modern.

Fenomena tersebut tentu cukup mengkhawatirkan, dan membawa efek negatif terhadap perkembangan jamu tradisional kita. Kenapa?

Pertama, tentu saja, karena jamu merupakan produk budaya yang berasal dari warisan nenek moyang yang diteruskan secara turun temurun. Kalau, produk jamu-jamu kimia semakin gencar memprenetasi pasar, hal itu bisa merusak citra jamu tradisional yang berbahan alami walaupun tentu saja seiring perkembangan jaman diproses secara modern.

Contoh simpelnya, penjual jamu gendong di sekitar rumah saya, yang walaupun membawa jamu tradisional dalam botol-botol tetapi juga menjual produk jamu BKO yang memiliki efek samping dalam penggunaannya. Bukan berarti jamu tradisional tidak memiliki efek samping, tapi sudah pasti yang berbahan alami memiliki efek negatif lebih sedikit dibanding yang berbahan kimia. Hal tersebut tentu saja merugikan citra jamu secara umum. Masyarakat tahunya akibat dari jamu, tidak melihat itu jamu kimia atau jamu tradisional.

Kedua, peraturan pemerintah Indonesia yang merugikan produsen jamu. Disini, orang luar mudah sekali mendapat izin untuk memasukkan produknya. Sedangkan kalau pengusaha jamu Indonesia ke luar negeri sulit sekali mendapatkan izin merek disana. di Tahun 2013 saja ada 25 perusahaan asal China yang akan masuk ke Indonesia. Ya, industri jamu memang sangat menarik bagi mereka. Karena mereka bisa menerapkan pola join venture dengan perusahaan di Indonesia, selanjutnya mengambil resep jamu tradisional dari kita dan kemudian dijual ke luar negeri. Kalau sudah begitu, tentu saja merusak budaya kita, karena jamu bukan sekedar minuman atau produk kecantikan, tetapi merupakan budaya bangsa Indonesia.

Efek jangka panjangnya, di kemudian hari, pasar luar negeri akan lebih mengenal jamu tradisional buatan China, sedangkan jamu tradisional dari Indonesia akan dianggap mengandung bahan kimia semua. Waduh, bisa-bisa nanti nasib jamu seperti nasib batik . Jangan sampai produk hasil budaya asli Indonesia diambil alih orang luar kemudian dikemas ulang menggunakan merek mereka.

Selain itu hal yang perlu diwaspadai juga, maraknya iklan-iklan jamu di televisi yang menampilakn pemerannya seorang perempuan dengan dandanan seksi dan vulgar. Seolah-olah jamu kita itu identik dengan hal-hal yang berbau seks. Bisa gawat kalau demikian. Jamu menjadi terkenal dan mendunia namun dengan citra yang negatif. Tentu saja bukan itu yang kita harapkan. Pelestarian jamu sebagai warisan budaya Indonesia sepaket dengan misi kenegaraan, citra Indonesia di belakangnya dan juga sebagai sarana diplomasi

Untuk itu, banyak hal yang harus kita lakukan demi lestarinya jamu asli Indonesia, diantaranya :

1. Menegaskan Identitas Jamu

Semakin maraknya produk turunan jamu dan modifikasi jamu yang khasiatnya belum tentu seperti jamu tradisional yang kita kenal selama ini harus diantisipasi dengan memebri identitas yang jelas pada setiap kemasannya. " JAMU" untuk produk jamu tradisional berbahan natural. " JAMU KIMIA" untuk jamu dengan campuran kimia dan diproses secara kimiawi dan " JAMU BKO" untuk jamu dengan bahan Kimia obat. Mungkin bisa ditangani oleh BPPOM untuk labelingnya. Dengan demikian, tidak ada persepsi yang salah terhadap jamu.

2. Perlunya Inovasi Produk
Tidak semua orang suka jamu yang pahit, bahkan tidak semua orang suka minum jamu. Untuk melestarikan jamu sekaligus membudayakan jamu di negara kita sehingga menjadi tuan rumah di negara sendiri, pengusaha jamu harus terus berinovasi mengikuti perkembangan jaman dan kebutuhan konsumen. Variasi produk mutlak diperlukan. Contohnya jamu kunyit asem dalam bentuk permen, dicampur coklat atau dijadikan semacam teh celup yang praktis. Produk-produk kecantikan dan spa juga bisa menjadi sasaran pengembangan produk jamu. 

3. Packaging Yang Menarik
Yang namanya visualisasi suatu produk merupakan hal pertama yang dilihat konsumen. Kemasan yang menarik dan modern bisa menjadi sasaran konsumen tertentu. namun, jangan diiabaikan bahwa jamu identik dengan kesan tradisional , kemasan dengan nuansa tradisional juga memiliki segmen pembeli tertentu. Untuk itu mempertahankan hal-hal yang berbau tradisional juga perlu dilakukan disamping modernisasi. Sesuaikan dengan segmen yang dituju. Disamping itu, sitem penjualan secara franchise terhadap outlet-outlet jamu mewah juga turut melestarikan jamu, sehingga jamu makin dikenal dan bisa menjangkau semua segmen mulai dari masyarakat bawah sampai menengah ke atas.

4. Pengenalan Jamu ke Dunia Luar
Tidak hanya penyanyi yang harus Go international untuk mendapat pengakuan. Jamu pun juga butuh Go international. Pangsa pasar luar negeri yang masih besar bisa menjadi sasaran untuk melestarikan jamu sekaligus memperkenalkan jamu di dunia. Tidak hanya berupa minuman, produk-produk spa dan kecantikan bisa dipasok untuk salon-salon dan spa-spa terkenal disana. Imej Jamu pun bisa terangkat sekaligus di mata dunia. 

Tidak hanya membawa jamu ke luar negeri, tamu yang datang ke Indonesia juga bisa dikenalkan langsung kepada jamu sejak pertama kali mereka mengijakkan kaki di tanah air. Menyediakan jamu sebagai alternatif Welcome Drink  di hotel-hotel ataupun di dalam penerbangan internasional oleh maskapai miliki Indonesia menjadi sambutan hangat untuk menegaskan bahwa jamu adalah budaya khas indonesia. Seperti sake yang identik dengan negara Jepang, Ginseng miliknya China, maka Jamu pun akan dikenal sebagai salah satu identitas Indonesia.

5. Dukungan pemerintah kepada Pengusaha jamu tradisional
Di tengah gencarnya produk-produk jamu kimia dan BKO baik dari dalam negeri maupun dari luar, perlu peran pemerintah untuk melindungi pegusaha jamu tradisional, terutama pengusaha-pengusaha kecil. Pemberian ijin yang lebih selektif bisa dilakukan sehingga tidak sembarang jamu bisa beredar di masyarakat.

Pemberian pelatihan dan pembinaan kepada pengusaha jamu tradisional dalam hal penyiapan bahan baku hingga proses pembuatannya  secara higienis juga turut andil dalam pelestarian jamu. Perlu juga diberikan pelatihan kewirausahaan kepada mereka untuk membatu penjualan produk yang dihasilkan.

6. Saintifikasi Jamu
Yakni upaya meneliti kandungan dan khasiat jamu secara ilmiah sesuai prinsip-prinsip pelayanan kesehatan. Tujuannya bukan untuk menggeser peran obat medik ( farmasi), namun sebagai penyeimbang dalam upaya melengkapi upaya pelayanan kesehatan, Masyarakat sudah lama mempercayai jamu untuk mengatasi masalah kesehatannya. Jadi pemanfaatan jamu justru dikaji secara ilmiah dan diatur khusus agar tidak menimbulkan penyalahgunaan yang berakibat munculnya efek negatif yang tak diharapkan, sehingga masyarakat tidak perlu was-was saat mengkonsumsi jamu asal dalam takaran yang wajar. Bila perlu jamu bisa dipadukan dengan pengobatan modern.

7. Supply Bahan Baku yang Berkesinambungan
Dukungan pemerintah kepada para petani bahan baku pembuatan jamu, seperti umbi-umbian dan rempah-rempah serta tanaman obat dengan cara penyuluhan tata cara bertani yang dapat menghasilkan tumbuhan berkualitas, termasuk mendukung permodalan mereka dengan bermitra kepada perbankan melalui penyaluran kredit usaha rakyat dengan bunga ringan dan syarat mudah. Kesinambungan bahan baku menjadi penentu utama pelestarian jamu kita

Saat ini kemitraan antara para petani jamu dengan pusat studi biofarmaka telah dilakukan untuk petani di Sukabumi. Bimbingan dari para peneliti dapat meningkatkan hasil pertanian sekaligus meningkatkan pengetahuan petani terhadap motivasi kewirausahaan mereka. Sinergi antara peneliti, pemerintah, perbankan dan petani akan berdampak positif terhadap perkembangan jamu di tanah air.

8. Menghadirkan Pendidikan budaya Jamu sejak Dini
Sebagai warisan budaya, tidak ada salahnya jamu diperkenalkan kepada generasi penerus bangsa melalui sekolah. Muatan lokal yang dulu ada di kurikulum Sekolah bisa dihadirkan kembali, berisi pengenalan terhadap tanaman jamu dan khasiat jamu. 

9. Sosialisasi Manfaat dan Efek Samping Jamu
Pengetahuan tentang jamu yang diketahui masyarakat selama ini kebanyakan hanya berasal dari cerita turun-temurun dari mulut ke mulut. Informasi yang akurat tentang manfaat dan efek samping jamu dapat meningkatkan awareness terhadap Jamu. Contohnya seperti memanfaatkan peran blogger dalam menuliskan informasi seputar jamu di blognya. Semakin mudah dan semakin banyak informasi yang ditemukan tentang jamu, semakin kecil kemungkinan jamu punah ditelan masa

Pelestarian jamu sebagai budaya bangsa Indonesia merupakan tanggung jawab kita bersama. Jangan sampai negara China yang terkenal dengan obat-obatan dan ramuan tradisionalnya mengambil alih budaya asli Indonesia ini. Mari lestarikan jamu sebagai warisan budaya Indonesia dengan mengenal dan mencintainya. Harapan kita, ketika jamu disebut, dunia akan merujuk ke Indonesia.


Sumber referensi :
1. http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-article/267-development-of-partnership-model-
2. http://executive.kontan.co.id/news/dunia-internasional-kepincut-jamu-tradisional
http://lansida.blogspot.com/2011/04/bedanya-jamu-herbal-terstandar-dan.html