Selasa, 17 Desember 2013

Anak Saya Minum Sufor, Memangnya Kenapa?

"Anaknya usia berapa nih mba" 

Tanya seorang ibu di lift sebuah mall di Medan beberapa bulan yang lalu. Hari itu kebetulan ngga ada undangan, jadi weekend bisa jalan-jalan, refreshing sambil cuci mata bareng si papah dan Tara.

" Tiga bulan bu " jawab saya
" Wah tiga bulan kok keliatan gede banget ya mba, berapa tuh beratnya" tanya si ibu lagi
" Lima kilo" jawab saya sambil tersenyum
" Iiiih anak saya udah 7 bulan aja beratnya baru 7 kilo lo" lanjut si ibu yang membuat hidung saya kembang kempis menahan rasa bangga di hati. Yess, anak guweh sehat, lebih gede dari anak seumurannya, kata hati saya sambil senyam senyum.

" Susunya apa mba?" si ibu ternyata masih penasaran
" ASI " jawab saya cepat yang kemudian diikuti dengan lirikan dari suami saya.

Begitu lift tiba di lantai 3 segera saya keluar. Beberapa langkah dari pintu lift, suami langsung menegur saya.

" Ade, kenapa bohong gitu sih, pake bilang kalo Tara ASI, kok ngga bilang aja apa susunya Tara" 
" Laaah kan Tara memang ASI mas, walau dicampur Sufor juga" jawab saya enteng
" Iya tapi kan ga ada salahnya ade bilang apa merk susu Tara, ibu itu kan serius nanyanya" 
" Ogah, pokoknya Tara itu ASI titik " jawab saya sambil manyun, sebel sama suami.

Xiixixi, itu tuh kejadian yang sudah beberapa kali saya alami. Setiap ketemu orang, entah itu ketemu di jalan, atau tetangga main ke rumah, bahkan saat imunisasi dan ditanya dokter pun saya keukeuh bilang kalau Tara itu ASI.

Padahal kenyataannya sejak saya selesai cuti melahirkan dan kembali ke kantor, Tara sudah tidak full ASI lagi, sudah dibantu oleh sufor.

Saat Tara lahir, ASI saya memang tidak langsung keluar. Namun karena sudah dapat info sebelumnya dari seminar yang diadakan AIMI di Medan,saya jadi tahu kalau bayi itu masih membawa bekal makanan dari rahim ketika lahir dn sanggup bertahan selama 72 jam tanpa asupan apapun. Maka demi si ASI eksklusif saya pun kekukeh ngga memberi apapun. Walau ASI saya ngga keluar, tetap saya tempelin aja Tara di puting saya setiap ia kelihatan haus. 

Malam pertama bersama Tara syukurnya no drama. Walau sempet nangis, namun begitu dinenenin Tara langsung diem dan bobo pules di samping saya. Begitu lahir saya memang minta rawat gabung, Tara ngga dibawa ke ruang bayi, jadi bisa saya susuin sepuasnya, begitu rencananya. 

Hari kedua, siangnya juga berjalan muluuuuuuus, ada kakak ipar saya yang juga masih menyusui anaknya. Jadi saat Tara nangis, tinggal dikasi ke kakak saya itu, disusuin sampai kenyang, dan Tara anteng kembali
Malamnya Tara mulai rewel, disusuin juga ngga mau, mungkin sebel dia karena ngga dapat apa yang diinginkannya, kakak ipar saya juga sudah pulang, agak panik awalnya. Syukurnya malam itu banyak teman kami yang menjenguk, yang salah satunya juga baru punya baby dan masih menyusui. Beberapa hari sebelum lahiran, saya sudah berbicara dengannya, meminta kesediaannya menjadi donor ASI kalau-kalau ASI saya belum keluar sampai tiga hari, dan ia menyetujuinya. Maka saat Tara nangis, dengan sukarela si sahabat menyusui Tara sampai kenyang. Duuuh lega banget rasanya, cita-cita ASI eksklusif masih bisa terlaksana.Demi jaga-jaga kalau entar malam Tara haus lagi, ia pun memerah ASInya untuk stok Tara sekali minum. 

Karena merasa mampu, besok malamnya, si oma yang malam sebelumnya menemani saya dan suami nginep di RS , saya suruh istirahat di rumah saja. Pikir saya, ah gampang lah, kemarin bisa kok.

Begitu suasana sepi, teman-teman sudah pulang, tinggallah kami bertiga, sepasang suami istri plus bayi baru berumur 2 hari yang masih unyu-unyu. Produk baru yang ngga tau mau diapain. Dunia rasanya cuma milik kami bertiga, bahagia tiada tara. Lagi seneng-senengnya memandangi bayi mungil yang terlelap, eh tiba-tiba si bayi bergerak-gerak gelisah dan mulai merengek. Satu rengekan bersambung menjadi dua tiga dan seterusnya malah nangis kejer. Waduh saya dan suami panik bukan main. Disusuin masih nangis, digendong-gendong tetep ngga mau diem. Dinyanyiin sambil ditimang timang, dipeluk, malah makin kenceng nangisnya. Dengan tergesa kami panggil suster.

" Bayinya haus ibu" kata suster tersebut sambil menggendong bayi saya
" Tapi air susu saya belum ada " jawab saya sedih
Si suster diam saja, memberi saya kesempatan berfikir mungkin.
" Tapi sus, katanya kan bayi bisa bertahan sampai 3 hari tanpa apa-apa. Lha ini baru 2 hari kok sus" entah bertanya entah menuntut, saya pun tak tahu.
" Iya bu memang demikian. Sekarang terserah ibu mau gimana"

Lhaaaaa malah diserahin ke saya. Mommy baru yang masih murni tanpa dosa huhuhuhu. Sementara saya diam, tangis Tara makin kenceng. Duh bikin senewen. Hati saya rasanya teriris-irirs denger suaranya, sediiiih banget ( mulai drama). Daaaaaan akhirnya pertahanan saya jebol.

" Suster, tolong dikasih susu formula saja anak saya" jawab saya sendu. Suami menggenggam tangan saya erat.

" Ngga papa dek, besok dicoba susuin lagi, tetep ASI eksklusif kok" katanya menenangkan.
" Kalau begitu, bayinya saya bawa ke ruang bayi ya bu, besok pagi kami antar kembali" 
" Loh ngga bisa diambilin aja susunya sus, biar anak saya tetap disini" saya terkejut juga mendengarnya
" Ngga bisa bu, kalau mau dikasi sufor bayi harus dalam pengawasan kami, besok kami antar jam 7 sampai jam 10, trus jam 4 sore sampai jam 7 malam" terang si suster

Hwaaaaa, langsung nangis saya dengernya. Tapi apa boleh buat, mendengar Tara nangis sampai sesegukan hati saya sungguh ngga tega. Setelah menandatangani surat penyerahan bayi, Tara pun menghilang dari pandangan kami. Suasana kamar langsung sepi seketika. Baru semenit langsung kangen luar biasa, duuuuh. detik itu rasanya saya gagal menjadi seorang ibu yang baik. Sediiiih banget. Tapi yang namanya raga ngga bisa dibohongi, mungkin karena udah dua malam bergadang, akhirnya malam itu saya dan suami tertidur dengan lelapnya. 

Esoknya kami memutuskan untuk langsung keluar dari RS. Ngga kuat harus tidur pisah dari Tara. Begitu sampai di rumah ibu, berbagai makanan penambah dan pelancar ASI langsung disodorkan kepada saya.

"Minum Nira biar ASI nya ngucur" kata seorang tetangga.

Ngga berapa lama, sebotol besar nira pun diantar ke rumah. Langsung saya minum tanpa sisa.

" Makan jantung pisang biar deres " 
Sepanci sayur jantung pisang pun menjadi menu sehari-hari.

" Daun katuk jangan lupa"
" Daun nasi-nasi"
" Yang pait-pait, sawi pait, daun pepaya, pare"
Semuaaaaanyaaa saya makan ngga pake pilih-pilih.

Namun sampai hari kesepuluh ASI saya hanya menetes saja, ngga sampai ngucur-ngucur kayak yang dibilang orang. Saya mulai frustasi.

“ Coba dipijet” Kata tetangga yang lain

Tukang pijet andalan di kampung saya pun didatangkan ke rumah. Langsung dikontrak selama 40 hari ke depan. Hasilnya? Sama saja

“ Coba diperah” kata suami
Dengan semangat 45 saya perah, Pakai pompa manual, merek Midela (penting ini ). Hanya dapat 10 ml. Itu pun setelah diperah selama setengah jam lebih, hiks.

“ Pompanya kurang bagus tuh de” suami saya sepertinya ikut frustasi ngeliat hasil pumping.

Hari itu juga, suami saya yang sangat baik hatinya itu bergegas ke Medan ( rumah ortu saya di Galang, kira-kira satu jam-an dari Medan ) untuk membeli pompa yang lebih bagusan. Langsung beli yang elektrik dengan merek yang sama yang harganya kata tante saya seharga satu ekor kambing untuk kekah itu.

Harapan saya membuncah, membayangkan ASI bakal mengalir deras dari payudara saya. Apalagi adik saya bilang, dulu ia bisa sekali perah dapat 300 ml, saya pun makin semangat.

Hasilnya???
Dapat 30 ml, lumayanlah daripada lumanyun.




“ Kalau mau ASI nya banyak, pikiran harus relaks biar LDR (Let Down Reflex) nya dapet”

Suami dengan senang hati menggaji dua orang ART sekaligus. Satu ngurusin anak, satu buat beres-beres rumah. Masih kurang? Seorang ibu yang biasa ngerawat ibu-ibu pasca melahirkan pun dibooking ke rumah setiap hari. Mulai dari meng-oukup (seperti spa tapi ala rumahan), pijet, lulur sampai makein segala jenis param-paraman ke badan saya. Praktis ada tiga orang yang membantu saya setiap hari.

Karena hasil belum maksimal juga menurut saya soalnya saya ngga pernah yang ngalamin ASI sampai netes-netes kalau ngga diminumin ke bayi, maka saya pun berinisiatif mengudang konselor ASI ke rumah, langsung ahlinya, konselor AIMI.

“ Mungkin perlekatannya kurang pas mba” kata si konselor yang juga ternyata seorang dokter itu

Saya pun langsung memperagakan gaya menyusui Tara.

“ Hmmm udah bagus kok “

Ia lalu menerangkan, bahwa untuk memproduksi ASI, ada dua hormon yang paling berperan. Hormon prolaktin untuk memproduksi ASI dari pabriknya, dan hormon oksitosin untuk mengeluarkan ASI dari payudara. Katanya, hormon prolaktin saya sudah bagus, terbukti dengan payudara saya terlihat penuh. Namun sayangnya hormon oksitosin saya tidak bekerja sempurna. Kemungkinan saya stress.

Hal itulah yang saya tidak mengerti. Masa iya saya stress padahal saya ngga ngerjain apa-apa, istirahat juga cukup ( kan dibantu 3 orang gitu lho ).

Namun sejak konsultasi tersebut, perlahan hasil ASIP saya mengalami peningkatan. Dari 50 ml, akhirnya tembus rekor 100 ml sekali perah. Girangnya bukan main. Langsung difoto buat penambah semangat. Disimpan dibotol dan dimasukin ke freezer, mulai nabung.



Walau katanya produksi ASI tidak sama dengan hasil perahan, namun bagi saya ASIP itu sangat penting, sebagai persiapan saat saya kembali bekerja. Lagi-lagi demi cita-cita ASI eksklusif tadi.

Dalam satu hari, saya bisa menyimpan 2 botol ASIP, maksimal. Namun tabungan ASIP tersebut tidak bertahan lama, karena saat cuti melahirkan saya memutuskan ikut kursus mengemudi. Otomatis saya bakal meninggalkan Tara minimal selama 2 jam dalam sehari. Walau sebelum pergi Tara sudah saya susuin, tetap saja ASIP yang sudah disimpan terpakai juga.

Sampai dengan menjelang masuk kantor lagi, saya hanya berhasil menyetok ASIP sebanyak 15 botol. Padahal udah bangun malam juga untuk pumping.

Begitu aktif kembali ngantor, setiap pergi kerja bawaan saya segambreng. Satu tas isinya perlengkapan saya, laptop, dompet, charger hp. Satu tas lagi isinya breast pump,botol ASIP,ice gel. Ditambah lagi dengan tas bekal makanan. Untuk menjaga kualitas ASI saya memang memutuskan bawa makanan dari rumah. Isi bekalnya ngga jauh-jauh dari daun katu, sawi pahit, jantung pisang dan aneka sayur biar ASI dereeees. Cemilan saya pun isinya segala jenis kacang-kacangan. Mulai dari kacang mede, kacang tananh, kacang almond, semua kacang deh. Bahkan saya sampai minta bawain sodara yang pulang dari Makassar buat beliin kacang mede dari sana, karena harganya agak murahan disana.


Di kantor, saya buat jadwal pumping jam 10 pagi, jam 1 siang saat istirahat dan jam 4 sore menjelang pulang kantor. Awal-awal bisa dapat tiga botol sehari, masing-masing 100 ml.Kadang hanya dapat 200 ml, pernah juga Cuma 150 ml.  Disimpan di kulkasnya pak Pinwil, sore baru saya bawa ke rumah pakai tas khusus ASIP .Di rumah pun saya masih pumping saat Tara tidur. Berapapun tetap saya syukuri. Setetes demi setetes kan lama-lama jadi berbotol-botol juga pikir saya.



Namun, lama kelamaan Tara minum semakin banyak. Saat saya kerja dia bisa menghabiskan sebanyak 4 botol ASIP. Sebulan pertama masih bisa terpenuhi dengan stok ASIP yang sudah ada ditambah hasil pumping di kantor.

Masuk usia empat bulan, Tara menghabiskan 5-6 botol selama saya tinggal. Begitu kembali di rumah, Tara kembali dapat ASI langsung dari saya.Hingga akhirnya stok ASIP saya habis, hanya mengandalkan hasil pumping hari ini untuk diminum besoknya. Pada saat itu akhirnya saya pasrah, berusaha menerima kenyataan, Tara pun mengkonsumsi sufor disamping ASIP.

Jangan ditanya bagaimana sedihnya perasaan saya. Disamping sedih karena cita-cita ASI eksklusif pupus sudah, ditambah lagi dengan kenyataan harga sufor yang ampuuun deh benar-benar bikin panas kantong. Mari kita berhitung.

1 kotak sufor = Rp130.000,-
1 Kotak habis dalam 3 hari
1 bulan = 10 kotak x Rp 130.000 = Rp 1.300.000,- ( nangis )

Bayangkan kalau saya bisa sukses memproduksi pumping ASIP sesuai kebutuhan Tara, uang segitu pasti bisa nambahin semarak buku tabungan.

Awalnya saya takut Tara tidak sesehat anak lain yang full ASI. Tapi Alhamdulillah sampai saat ini Tara sehat wal afiat dan lincah sama seperti bayi pada umumnya.

Dari pengalaman itu, saya begitu kagum dengan para ibu yang bisa sukses memberi ASIX pada buah hatinya. Seorang teman sekantor yang hanya berjarak seminggu dengan kelahiran Tara juga ternyata bisa memberi ASIX untuk anaknya. Kadang saat pumping bersama di kantor, startnya duluan saya, sambil pumping sambil ngobrol. Gitu selesai, dia bisa keluar dari toilet ( ya saya pumping di toilet) dengan 3-4 botol ASIP di tangan dan saya hanya membawa 1 botol saja. Itu pun kadang tidak full, miris.

Dengan segala daya dan upaya saya telah berusaha maksimal untuk memberi yang terbaik bagi si buah hati. Maka tatkala buka internet, masuk di grup khusus ibu menyusui atau baca blog orang lain atau status teman yang merasa bahwa ibu yang sempurna itu ibu yang bisa memberi ASIX kepada anaknya, duuuh rasanya pengen  langsung ngeklik tombol unlike (sayangnya ngga ada) xixixi.

Atau malah ada yang ngata-ngatain anak yang minum sufor itu adalah anak sapi, iiiih pengen banget nampol yang nulis gitu.

Walau katanya ini bukan tentang kesempurnaan seorang ibu, atau ini bukan tentang anak manusia atau anak sapi, tapi tetep ujung-ujungnya membully ibu-ibu yang memutuskan memberi sufor kepada anaknya, membuat saya jadi males banget kalau udah ngomongin masalah ASI.

Maka saat kemarin heboh soal artikel yang diposting sebuah brand pelembut pakaian, saya hanya tersenyum geli.

Sebenarnya kalau mau jujur apa yang ditulisnya ada benernya lho.

Bahwa menyusui itu melelahkan. Hmmm benar bangets. Beberapa teman yang saya kenal hampir seratus persen sependapat. Menyusui itu luar biasa lelah.Apalagi di awal-awal, saat saya masih belum paham tentang menyusui padahal sudah membaca seabrek artikel menyusui. Tara bisa nempel di puting sampai satu jam lebih. Kalau dilepas nangis. Bukan saya saja, adik saya pun mengalami hal yang sama. Jadilah saya bisa sampai tertidur sambil duduk. Punggung ini pegalnya minta ampun. Posisi menyusui sambil tidur pun membuat badan pegal-pegal.

Tapi mungkin satu hal yang si penulis tidak tahu, bahwa menyusui itu melelahkan namun membahagiakan. Saat sudah tahu trik menyusui yang benar, pegal-pegal saya hilang. Dan saya akan seratus kali lebih memilih menyusui ketimbang bangun tengah malam untuk membuat susu formula. Tinggal buka kancing baju, miringkan badan sedikit, hap bayi kenyang ibu senang. Bayangkan kalau harus membuat sufor. Tangan saya pernah tersiram air panas dari dispenser, karena dalam keadaan ngantuk berat saat menyeduh sufor. Siapa bilang memberi sufor tidak butuh perjuangan? Termasuk perjuangan materi looo.

Dan yang utama, saat melihat mulut mungil Tara menempel di dada saya, menghisap penuh nikmat sambil mata beningnya menatap mata saya, duuuuh momen yang tak mungkin tergantikan oleh apapun. Apalagi kalau sudah kenyang, Tara akan melepaskan mulutnya sambil tersenyum manis, iiih gemes banget.

Artikel kedua si pelembut pakaian. Bahwa para ibu bekerja jangan memaksa diri untuk memberi ASIX.

Saya rasa juga ada benarnya. Hanya saja si penulis sama sekali tidak membahas soal ASIP. Dia hanya mengutarakan betapa repotnya harus pulang ke rumah untuk menyusui yang pastinya tidak akan mungkin bisa dilakukan di kota-kota besar

Kalau kita sudah berusaha maksimal, mengupayakan segala hal, namun toh hasilnya tidak sesuai impian, masa harus memaksa diri juga?

Bagi saya, menjadi seorang ibu yang bahagia jauh lebih penting dari predikat lulus S1. Terdengar egois, namun seorang ibu yang bahagia, yang tidak terbebani dengan pandangan ideal ibu masa kini pastinya akan memberi energi positif pada bayinya.

Saya yakin, kelak anak saya tidak akan menuntut saya jika ia tahu saya tidak berhasil memberinya ASIX. Saya yakin ia tahu bahwa hak asasinya untuk memperoleh ASI telah saya penuhi semaksimal saya bisa.

Maka tak perlulah lagi memperdebatkan siapa lebih baik dari siapa. Dan jangan pula antipati pada artikel yang membahas sufor, apalagi membully pengguna sufor.

Bersyukurlah jika anda mampu memberi ASIX pada si buah hati. Memiliki produksi ASI yang berlimpah ruah, sehingga tidak perlu merogoh kantong lebih dalam, membuka anggaran baru untuk membuat anak anda tidak menangis karena haus dan lapar.

Dan kalau ada yang berpendapat bahwa ASI melimpah bukan anugerah, bukan keberuntungan tapi bisa diusahakan, pun tetap bersyukurlah tidak mengalami apa yang mungkin kami alami.

Cukuplah kami yang tahu, tak perlu label ibu sempurna untuk menunjukkan seberapa besar cinta yang kami miliki untuk si buah hati.

Seperti lagu yang setiap hari dinyanyikan ART di rumah saya

“ Kasih sayangnya bunda
Tidak ada batasnya
Siang malam dijaganya…..
Dipangku dan ditimangnya
Dengan kasih sayangnya”

Kasih ibu tak terbatas usia 6 bulan pertama. ASI adalah makanan terbaik untuknya, tak seorangpun bisa membantahnya.Tak perlu mempertanyakan alasan dibalik pilihan seorang ibu. Masih banyak agenda untuk membentuk generasi penerus yang membanggakan umat.  

Untuk ibu-ibu senasib jangan berkecil hati ya. Jangan sampai kejadian kayak cerita saya di awal. Sekarang saya udah ngga pernah lagi jawab gitu kalau ditanya orang. Saya sudah sedikit lebih mengerti arti menjadi seorang ibu. Bukan soal seberapa banyak ASI yang bisa kau produksi

Jadi,…………… Kalau anak saya minum sufor, memangnya kenapa?

Selasa, 10 Desember 2013

OSPEK oh OSPEK


Heboh berita mahasiswa ITN Malang bernama Fikri yang tewas saat Ospek.

Naudzubillahi min zalik. Iih walau ngga ada hubungan kerabat, kenal juga ngga tapi begitu membaca berita ini di internet kok hati saya sakit sekali. Terbayang bagaimana perasaan orangtua Fikri. Dan kemudian saya langsung teringat berbagai Ospek yang pernah saya jalani di masa silam, ya di SMA ya di kuliahan.

Tanpa perlu menyebut yang mana, saya juga pernah mengalami yang namanya di ospek senior. Dari yang katanya " seneng-seneng" sampai yang membuat saya mau muntah. Duluuuuuu banget saya dan beberapa teman putri pernah dikerjai oleh kakak kelas.

Dibangunin malam-malam? ah itu sih masih biasa banget.
Dipermalukan di depan umum ? Aih jangan ditanya
Dan yang mungkin tidak pernah saya lupakan adalah saya pernah direndam di dalam bak mandi berukuran sangat kecil, hanya pas-pasan badan saya sambil jongkok dengan hanya memakai (maaf) pakaian dalam saja di jam 2 dini hari. Habis direndam saya dijemur ( tanpa matahari tentunya karena itu dini hari) di udara malam ditemani nyamuk-nyamuk nakal dengan kondisi menggigil kedinginan ( jam 2 pagi booooo ). Belum puas, mereka pun mengambil foto saya dan teman-teman dalam kondisi yang ala kadarnya itu. Katanya untuk kenang-kenangan.

Kedengarannya lucu yah. Iya, saya masih ingat sekali wajah-wajah mereka yang tertawa-tawa melihat saya dan beberapa teman dalam keadaan seperti itu. Jangan ditanya apa alasan mereka melakukannya.

UJI MENTAL katanya. Biar ngga cengeng, biar ngga ngelawan, biar menghormati senior.

Hare geneeee masih ada aja yang berfikir picik, dan belagu.

Apa saya tidak melawan?

Tentu banyak yang bertanya seperti itu.

Jawabannya TIDAK.

Buat apa?, kalau saya melawan yang terkena getah bukan saya sendiri tapi teman-teman yang lain juga ikut. Dan lagian itu sudah tradisi jadi kalau kita ngelapor yang ada malah dibilang cemen, manja, lebay.

" Kalian sih masih enak deeek cuma kami beginiin, kalau kami duluuuuu bla bla bla...." rasanya kalimat seperti itu menjadi senjata pamungkas melegalkan apa yang mereka kerjakan.

Percaya atau tidak itulah yang terjadi beberapa tahun silam pada diri saya.

Makanya saat mendengar kata OSPEK, maaf saja saya begitu antipati, muak plus jijik. Bagi saya senior-senior yang melakukan OSPEK itu adalah orang-orang yang CARI PERHATIAN, pengennya dihargai, dianggap punya pengaruh, dong dorodong dong dong. Cari perhatian dengan PRESTASI atuh, masa dengan membully anak unyu-unyu.

Lanjut ...

Beberapa tahun berselang, saya kembali bertemu dengan yang namanya si OSPEK ini, kali ini saya bukan korbannya tapi termasuk penyelenggara.

" Saya tidak setuju dengan yang namanya OSPEK pakai kekerasan, pakai acara kerja-mengerjai junior, saya rasa Orientasi itu mestinya menimbulkan keakraban, kebersamaan, bukan kebencian apalagi kekerasan "

Kira-kira seperti itu kalimat saya saat rapat pembentukan panitia berlangsung

Menurut kalian, apakah pendapat saya itu mendapat sambutan hangat? Mimpi Kali yeeee

" Usul windi bagus, tapi menurut kami, yang namanya kasih sayang itu tidak hanya berbentuk belaian atau kata-kata halus. Ibarat orangtua, terkadang kasih sayang juga bisa ditunjukkan dengan cara kekerasan, cara tegas" Jawab si ketua panitia yang disambut dengan riuh tepuk tangan sebagai dukungan padanya.

" INI untuk membentuk jiwa kepemimpinan bagi mereka ( seolah-olah dianya adalah sosok pemimpin handal)"

" Ini agar terbentuk kebersamaan, Korsa antar sesama mereka ( kayak dianya udah tinggi aja empatinya terhadap sesama teman)"

Dan OSPEK pun berjalan sesuai keinginan mereka. Saya tidak tahu secara pasti bagaimana OSPEK berlangsung, karena saya mengundurkan diri dari kepanitiaan. 

Kalian tahu? seperti itulah gambaran pemuda-pemuda Indonesia di masa lalu. Saya pikir masa-masa itu sudah berlalu. Saya pikir juga jaman batu itu sudah hilang.

Kasus kematian mahasiswa saat OSPEK bukan kali ini saja terjadi. Dulu di Universitas tempat saya kuliah juga pernah kejadian gitu, penyebabnya saya lupa hanya saja itu terjadi saat masa orientasi kanpus.Lagi-lagi institusi yang katanya tempat orang-orang pintar itu berada ternyata malah mejadi tempat sabung nyawa bagi si mahasiswa baru. Tragedi

Apakah tidak ada cara yang lebih baik untuk kegiatan OSPEK?

Saat saya diterima di perusahaan tempat saya bekerja sekarang, kami juga mengalami yang namanya orientasi perusahaan. Dididik di diklat selama 1 tahun penuh. Sepuluh jempol saya acungkan untuk pihak SDM yang menyelenggarakan masa-masa OSPEK tersebut.

Dua hari pertama kami dikenalkan dengan budaya kerja perusahaan. Nilai-nilai yang dianut disana beserta segala aturan yang ada. Cara penyampaiannya pun elegan sekali, dengan permainan psikologis dan pencarian jati diri ( halah istilahnya), semacam penggalian potensi dan kecenderungan karakter kita. Plegmatis, melankolis, sanguin. Action, Planning,Structuring atau Relation. Kami begitu antusias menjalaninya.

Ah kalau cuma gitu sih membosankan, ngga seruuuu ngga ada kenangannya.

Mungkin banyak yang berfikiran begitu, sehingga pihak SDM pun mengirim kami ke pelatihan SECAPA di Sukabumi. Ngga tanggung-tanggung yang menangani kami adalah para tentara langsung.

aiiih jeleknyoo lah diriku


Trus apa kami dibentak-bentak? dihukum jalan jongkok?, direndam di kolam? 

Hayoyoyoyo itu sih kalau yang ngadain kegiatan si oknum-oknum sok keren di atas. 

Tentu saja ada uji nyali. Dengan cara apa?

- Flying Fox
 Kalau kalian belum pernah mencobanya. Saya sarankan cobalah, benar-benar menguji nyali. Dari ketinggian 20 meter di atas permukaan tanah, kita disuruh terjun dengan diikat tali pengaman di paha dan punggung. Tanggan memegang tali juga trus meluncuuuuur, aaaagrh rasanya ngeri-ngeri sedep. Awalnya saya takut sekali, tapi melihat teman yang lain bisa, saya pun yakin pasti bisa. Saat meluncur saya teriak sekenceng-kencengnya. Gitu kaki menjejakkan tanah, eh malah kepingin ngulang, xixixi.

- Jalan di atas Api
Mungkin pernah lihat ya di tivi-tivi. Ada bak panjang seluas kira-kira 1x 7 m di atas tanah. Dia atasnya diisi pasir dan arang. Ke atas arang tersebut disiram minyak tanah kemudain disulut api. Kobaran api menjilat-jilat. Trus kita disuruh melewatinya. Haduh serem banget. Tapi kata si instrukturnya kuncinya adalah kita yakin dan percaya diri saat melewati api tersebut, jangan berlari dan tarik nafas dalam-dalam saat melewatinya. Hiyaaaaa, setelah dicoba malah ketagihan. Percaya ngga percaya kaki saya sama sekali tidak terasa panas dan tidak terbakar. padahal yang diinjak arang lo yang sudah disiram minyak dan disulut api. 
Berani coba??  Itu baru uji nyali namanya.

Tapi kan masih kurang seru, ngga ada latihan kepemimpinannya

Mau latihan kepemimpinan, ngga perlu lah pakai merayap-rayap di gua cina. Atau merayap-rayap di lembah berduri.

Secara berkelompok kami ditempatkan di dalam sebuah perahu karet yang terapung di sebuah danau buatan yang lumayan luas. Empat diantara kami masing-masing memegang sebuah dayung. Mata kami ditutup rapat oleh kain hitam. Seorang lagi yang tidak memegang dayung dan tidak ditutup matanya memberi komando kepada kami. 

" Sebelah kanan saya, dayung perahu ke arah kiri, lurus..... belok...." komando berbunyi sampai akhirnya kami tiba di seberang danau.

Itu yang namanya uji kepemimpinan dan uji kepercayaan. Bagaimana seorang pemimpin memandu anggotanya agar sama-sama selamat sampai di tujuan. Bagaimana seorang anak buah percaya penuh terhadap si pemimpin, karena yakin mereka dalam perahu yang sama. Keselamatan bersama adalah yang terpenting.

Ngga ada latihan fisiknya ah !!!!

Ngga perlu pakai angkat barbel segala kan untuk melatih fisik. Cukup kemana-mana pakai sepatu laras (bener ngga ya tulisannya) yang beratnya sekitar 5 kilo kali ya. Ampun deh, rasanya kayak jalan sambil diganduli batu. 

Ngga ada latihan kejujurannya tuh
Hohoho siapa bilang. Kemanapun bergerak harus memakai ransel yang diisi dengan pasir seberat 2 kg. Botol minuman 2 liter. Aiiih kalau mau curang bisa banget, cukup tinggalkan pasir di kamar, ngga ada yang tahu ini, wong ngga diperiksa juga.

Bahkan ada satu kegiatan yang sayangnya saat angkatan saya tidak dilakukan padahal dulu-dulu katanya itu kegiatan wajib. yaitu ANGKAT SENJATA

Bukan senjata boong-boongan, senjata beneran, dengan isi peluru sungguhan. Konon katanya perasaan saat mengangkat senjata dan menembakkannya ke sasarn itu begitu WOOOOW. Membuat kita tahu bahwa saat kita menembakakn peluru ke sasaran ada risiko yang diambil. Bisa terkena teman, bisa salah sasaran atau malah bisa berbalik ke diri sendiri.

Jadi, HANYA orang-orang picik yang masih melindungi dan menghalalkan OSPEK ngga mutu kaya di ITN Malang itu. 

Dan siapa bilang tuh kalau kasih sayang mesti pakai kekerasan. Hidup di jaman batu kali yah, dimana kalau si pria mengungkapkan kasih sayang dengan menarik rambut si wanita dan menyeretnya :).