Selasa, 10 September 2013

Orang Pintar banyak Cara, Orang Malas Banyak Alasan

Orang Pintar Banyak Cara, Orang Malas Banyak Alasan

Kalau kalian sempat, sekali-kali mampirlah ke BRI di jalan Putri Hijau Medan. Kalimat di atas akan menyambut siapapun yang menginjakkan kaki ke dalam gedung berlantai tiga tersebut. Dalam satu hari saya bisa membacanya sampai puluhan kali. Dulu kalimat ini pun menghiasi tembok putih di unit kerja saya sebelumnya yaitu Tebing Tinggi.

Saya tidak bisa lebih setuju dengan apa yang terkandung di dalamnya ( ceilah bahasa guweh udah kayak vicky ajah). Bahwa hanya orang malas yang apa-apa selaluuu aja punya alasan. 

" Kok karirmu gitu-gitu terus? "
" Iya, bos saya nepotismenya tinggi sih "

" Ngerjain berkas kredit satu debitur ajaaaa lamanya minta ampun "
" Abis jaringan lelet sih, masukin data ke aplikasi jadi lama"

dst .....dst......

Saya suka sebel sama orang yang selalu punya alasan kalau melakukan kesalahan atau tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik. Karena seperti kalimat di atas, harusnya selalu ada cara untuk mengatasi setiap masalah, bukan hanya bertamengkan alasan.

Saya pikir selama ini saya termasuk golongan orang di dua suku kata pertama, ternyata saya SALAH BESAR.

Beberapa waktu lalu setiap ada orang yang nanya kok saya bisa nulis, ikut lomba dengan tema yang lumayan berat padahal siangnya saya kerja, kapan waktunya. Dengan entengnya saya menjawab bahwa kalau ada niat apapun bisa dilakukan. Bahkan ada beberapa teman yang minta tips gimana caranya membagi waktu antara keluarga, pekerjaan dan passion saya dalam menulis.

Tapi.............. sekarang ini sepertinya saya harus mengakui, bahwa saya ternyata termasuk golongan orang yang punya seribu satu alasan untuk menutupi ketidakmampuan saya.

Sejak melahirkan putri kecil yang begitu menggemaskan, dan kembali ke dunia kerja, saya seperti selalu kehabisan waktu dan dikejar-kejar rutinitas. Boro-boro untuk menikmati " Me Time ", bahkan untuk merasakan tidur nyenyak saja merupakan sesuatu yang mahal bagi saya saat ini.

Rutinitas setiap harinya, bangun pagi jam lima, mandi, sholat subuh, Tara bangun, nyusuin Tara sampai setengah tujuh, pakaian, dandan, beberes, jam tujuh berangkat ngantor. Pulang kerja diusahain on time, namun se teng go teng go nya, tetep jam setengah enam baru bisa keluar kantor. Macet di jalan, ditambah saya memang baru bisa naik mobil, sehingga jalannya masih alon-alon asal kelakon, akhirnya nyampe rumah menjelang maghrib juga, pyuuuuuh.


Nyampe rumah, langsung megang Tara, nyusuin, main-main bentar, sholat maghrib, makan malam, nyusuin lagi, Tara tidur saya pun ikutan tidur. Tara punya rutinitas minum susu setiap 2 jam sekali. Jam 11 dia bangun, kemudian jam satu, jam tiga dan terakhir jam 5 pagi. Itu kalau Tara lagi baik budi dan ngga rewel. Belakangan ini Tara susah banget tidur malam, maunya main terus, ngoceh-ngoceh, ketawa-ketiwi. Duuuhhhhh, pengennya nemenin Tara tapi apa daya jasmani ngga mau kompromi, terkadang si Tara masih segar bugar, matanya masih 100 watt saya sudah tepar.

ni malam2 masih ngajak main :D

Selama ini saya berkomitmen terhadap diri sendiri, bahwa begitu saya tiba di rumah ngga ada cerita anak saya dipegang ART lagi. Masa udah seharian ditinggal, malam pun Tara sama kakaknya, jadilah walau ngantuk-ngantuk, setengah sadar setengah mimpi sepanjang malam Tara berada di dalam dekapan saya. Begitu pun Sabtu Minggu, mulai dari mandiin sampai ngurusin semua keperluan Tara saya lakukan sendiri untuk menebus waktu yangs saya lewatkan dari Senin sampai Jumat.

Kalau dulu, malam merupakan sahabat setia saya untuk menulis, sekarang begitu ada waktu luang dikit, saya lebih milih tidur daripada megang laptop. DI kantor pun, sepertinya pekerjaan berkonspirasi sehingga tak sedikit pun tersisa waktu untuk sekedar menulis satu postingan geje seperti dulu. Karena ingin pulang secepatnya, maka selama jam kerja saya benar-benar manfaatkan untuk menyelesaikan pekerjaan, supaya ngga ada cerita kerjaan dibawa-bawa ke rumah, atau lembur di hari libur untuk ngerjain yang ngga selesai.

Trus, pertanyaannya, kapan dong saya bisa nulis ?...... huhuhuhu

Makanya beberapa waktu lalu saat ada tantangan #10daysforasean, saya ngotot mendaftarkan diri. Saya pikir dengan begitu saya akan mau tidak mau terpaksa menulis dan bisa keluar dari hibernasi yang saya lakukan. Tapi ternyata... saya kalah. Saya ngga mampu bahkan hanya menulis satu postingan setiap hari. Padahal temanya juga sudah ditentukan. Walau ngga bisa dibilang gampang tapi semuanya bisa dicari di google. 

Maka yang terjadi adalah setiap di lempar tema untuk hari itu, saya curi-curi waktu untuk searching literatur yang mendukung. Ngga bisa ngulik-ngulik google pakai laptop, hape jadi satu-satunya yang paling praktis dan bisa saya gunakan. Sambil merah ASI di kantor, disitu saya baca artikel-artikel yang saya butuhkan. Makan siangpun disempet-sempetin buat baca-baca. Niatnya ntar malam nyampe di rumah baru nulis buat tema hari itu. Tapi rencana tinggal rencana, begitu sampai di rumah, peran sebagai wanita karir pun harus ditanggalkan. Si imut Tara begitu menggoda iman, akhirnya tulisan yang sudah terangkai di kepala pun hanya ngendon di otak saja tanpa sempat tertuang ke dalam blog karena deadline yang sangat sempit. 

Dan, sampai event #10daysforasean berakhir saya hanya bisa menulis sampai tuntas beberapa tema saja. Beberapa ada yang sempat saya tulis sebagian, kemudian terputus oleh rengekan Tara yang minta haknya untuk disusui. Sebagian ibu mungkin bisa nyusuin sambil nulis, kalau saya kok ngga bisa yah. Momen menyusui adalah momen yang begitu intim antara saya dan bayi mungil saya, sehingga rasanya eman-eman kalau disambi kegiatan lain. 

Hmmm, akhirnya saya harus akui, bukan karena tidak sempat atau karena repot ngurus bayi, tapi memang saya yang belum bisa memanage waktu dengan baik, sehingga sampai detik ini, berbagai info lomba menulis hanya teronggok begitu saja di folder lepi saya. Hasrat hati ingin kembali bersinar di dunia maya, apa daya ternyata kapasitas saya tidak mumpuni.

Walau sering terbersit, " Emak yang lain bisa, bahkan yang punya balita tiga orang kayak mba Leyla aja bisa nerbitin buku di tengah kerempongannya, masa saya kalah sih ". Pada akhirnya saya memang kembali menyalahkan waktu sebagai alasan untuk menutupi kelemahan saya.

Orang Pintar banyak Cara, Orang Malas Banyak Alasan

Semoga saya segera menemukan cara untuk kembali menulis di sela rutinitas baru yang alhamdulillah membuat saya merasa menjadi perempuan paling bahagia di muka bumi ini.

Doakan sayah ya maaaks :))



Minggu, 01 September 2013

Ini Milikku bukan Milikmu

Tahun 2010 yang lalu saya membeli sebidang tanah beserta bangunan rumah di atasnya dengan ukuran tanah 15 m x 25 m. Cukup luas untuk hunian yang nyaman menurut saya.Rumah tersebut saat kami beli belum memiliki pagar. Maka demi keamanan, saya dan suami berencana untuk membangun pagar di sekeliling rumah. Agar tahu estimasi biaya dan titik tempat pagar dibangun, dimulailah pengukuran tanah sesuai dengan yang tertera di sertifikat tanah dan rumah tersebut. 

Saat suami mengukur bersama seorang tukang bangunan yang sedianya bakal meembangun pagar tersebut, kami dikejutkan oleh ketidaksesuaian antara sertifikat tanah dan kondisi di lapangan. Ternyata, bangunan rumah itu selama ini telah melewati batas tanah seperti yang telah dituangkan di surat tanah. Wooow panik deh saya, boro-boro mau bangun pagar, lha bangunan yag sekarang aja sudah lewat batas.Sebenarnya saya heran juga, kok selama ini yang punya tanah di sebelah ngga protes.

Tanah yang saya beli ini adalah milik nenek saya. Ketika nenek dan kakek saya meninggal dunia, anak-anaknya sepakat menjual rumah tersebut. Dan dengan banyak pertimbangan saya pun membeli rumah yang merupakan rumah masa kecil ibu saya.Sejak tahun 1970 sampai dengan saat ini tetangga kiri kanan, muka belakang tak mengalami pergeseran, sehingga disana semua saling kenal. Mungkin itulah yang menyebabkan selama ini tidak pernah ada masalah dengan bangunan rumah yang sudah masuk tanahnya tetangga.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, saya dan suami pun mendatangi tetangga rumah yang merupakan pemilik tanah sebelah. Setelah memohon maaf karena ketidaktahuan kami, suami malah meminta mereka untuk menjual sekitar 1-2 m tanah mereka agar cukup untuk membangun pagar. Syukurnya mereka mau, karena bagi mereka kehilangan satu meter tanahnya tak mempengaruhi apapun, sedangkan bagi kami satu meter itu sangat berguna . Karena sudah menganggap saudara sendiri,  kami hanya melakukan transaksi jual beli dalam selembar kuitansi yang tidak punya kekuatan hukum.