"Anaknya usia berapa nih mba"
Tanya seorang ibu di lift sebuah mall di Medan beberapa bulan yang lalu. Hari itu kebetulan ngga ada undangan, jadi weekend bisa jalan-jalan, refreshing sambil cuci mata bareng si papah dan Tara.
" Tiga bulan bu " jawab saya
" Wah tiga bulan kok keliatan gede banget ya mba, berapa tuh beratnya" tanya si ibu lagi
" Lima kilo" jawab saya sambil tersenyum
" Iiiih anak saya udah 7 bulan aja beratnya baru 7 kilo lo" lanjut si ibu yang membuat hidung saya kembang kempis menahan rasa bangga di hati. Yess, anak guweh sehat, lebih gede dari anak seumurannya, kata hati saya sambil senyam senyum.
" Susunya apa mba?" si ibu ternyata masih penasaran
" ASI " jawab saya cepat yang kemudian diikuti dengan lirikan dari suami saya.
Begitu lift tiba di lantai 3 segera saya keluar. Beberapa langkah dari pintu lift, suami langsung menegur saya.
" Ade, kenapa bohong gitu sih, pake bilang kalo Tara ASI, kok ngga bilang aja apa susunya Tara"
" Laaah kan Tara memang ASI mas, walau dicampur Sufor juga" jawab saya enteng
" Iya tapi kan ga ada salahnya ade bilang apa merk susu Tara, ibu itu kan serius nanyanya"
" Ogah, pokoknya Tara itu ASI titik " jawab saya sambil manyun, sebel sama suami.
Xiixixi, itu tuh kejadian yang sudah beberapa kali saya alami. Setiap ketemu orang, entah itu ketemu di jalan, atau tetangga main ke rumah, bahkan saat imunisasi dan ditanya dokter pun saya keukeuh bilang kalau Tara itu ASI.
Padahal kenyataannya sejak saya selesai cuti melahirkan dan kembali ke kantor, Tara sudah tidak full ASI lagi, sudah dibantu oleh sufor.
Saat Tara lahir, ASI saya memang tidak langsung keluar. Namun karena sudah dapat info sebelumnya dari seminar yang diadakan AIMI di Medan,saya jadi tahu kalau bayi itu masih membawa bekal makanan dari rahim ketika lahir dn sanggup bertahan selama 72 jam tanpa asupan apapun. Maka demi si ASI eksklusif saya pun kekukeh ngga memberi apapun. Walau ASI saya ngga keluar, tetap saya tempelin aja Tara di puting saya setiap ia kelihatan haus.
Malam pertama bersama Tara syukurnya no drama. Walau sempet nangis, namun begitu dinenenin Tara langsung diem dan bobo pules di samping saya. Begitu lahir saya memang minta rawat gabung, Tara ngga dibawa ke ruang bayi, jadi bisa saya susuin sepuasnya, begitu rencananya.
Hari kedua, siangnya juga berjalan muluuuuuuus, ada kakak ipar saya yang juga masih menyusui anaknya. Jadi saat Tara nangis, tinggal dikasi ke kakak saya itu, disusuin sampai kenyang, dan Tara anteng kembali
.
Malamnya Tara mulai rewel, disusuin juga ngga mau, mungkin sebel dia karena ngga dapat apa yang diinginkannya, kakak ipar saya juga sudah pulang, agak panik awalnya. Syukurnya malam itu banyak teman kami yang menjenguk, yang salah satunya juga baru punya baby dan masih menyusui. Beberapa hari sebelum lahiran, saya sudah berbicara dengannya, meminta kesediaannya menjadi donor ASI kalau-kalau ASI saya belum keluar sampai tiga hari, dan ia menyetujuinya. Maka saat Tara nangis, dengan sukarela si sahabat menyusui Tara sampai kenyang. Duuuh lega banget rasanya, cita-cita ASI eksklusif masih bisa terlaksana.Demi jaga-jaga kalau entar malam Tara haus lagi, ia pun memerah ASInya untuk stok Tara sekali minum.
Karena merasa mampu, besok malamnya, si oma yang malam sebelumnya menemani saya dan suami nginep di RS , saya suruh istirahat di rumah saja. Pikir saya, ah gampang lah, kemarin bisa kok.
Begitu suasana sepi, teman-teman sudah pulang, tinggallah kami bertiga, sepasang suami istri plus bayi baru berumur 2 hari yang masih unyu-unyu. Produk baru yang ngga tau mau diapain. Dunia rasanya cuma milik kami bertiga, bahagia tiada tara. Lagi seneng-senengnya memandangi bayi mungil yang terlelap, eh tiba-tiba si bayi bergerak-gerak gelisah dan mulai merengek. Satu rengekan bersambung menjadi dua tiga dan seterusnya malah nangis kejer. Waduh saya dan suami panik bukan main. Disusuin masih nangis, digendong-gendong tetep ngga mau diem. Dinyanyiin sambil ditimang timang, dipeluk, malah makin kenceng nangisnya. Dengan tergesa kami panggil suster.
" Bayinya haus ibu" kata suster tersebut sambil menggendong bayi saya
" Tapi air susu saya belum ada " jawab saya sedih
Si suster diam saja, memberi saya kesempatan berfikir mungkin.
" Tapi sus, katanya kan bayi bisa bertahan sampai 3 hari tanpa apa-apa. Lha ini baru 2 hari kok sus" entah bertanya entah menuntut, saya pun tak tahu.
" Iya bu memang demikian. Sekarang terserah ibu mau gimana"
Lhaaaaa malah diserahin ke saya. Mommy baru yang masih murni tanpa dosa huhuhuhu. Sementara saya diam, tangis Tara makin kenceng. Duh bikin senewen. Hati saya rasanya teriris-irirs denger suaranya, sediiiih banget ( mulai drama). Daaaaaan akhirnya pertahanan saya jebol.
" Suster, tolong dikasih susu formula saja anak saya" jawab saya sendu. Suami menggenggam tangan saya erat.
" Ngga papa dek, besok dicoba susuin lagi, tetep ASI eksklusif kok" katanya menenangkan.
" Kalau begitu, bayinya saya bawa ke ruang bayi ya bu, besok pagi kami antar kembali"
" Loh ngga bisa diambilin aja susunya sus, biar anak saya tetap disini" saya terkejut juga mendengarnya
" Ngga bisa bu, kalau mau dikasi sufor bayi harus dalam pengawasan kami, besok kami antar jam 7 sampai jam 10, trus jam 4 sore sampai jam 7 malam" terang si suster
Hwaaaaa, langsung nangis saya dengernya. Tapi apa boleh buat, mendengar Tara nangis sampai sesegukan hati saya sungguh ngga tega. Setelah menandatangani surat penyerahan bayi, Tara pun menghilang dari pandangan kami. Suasana kamar langsung sepi seketika. Baru semenit langsung kangen luar biasa, duuuuh. detik itu rasanya saya gagal menjadi seorang ibu yang baik. Sediiiih banget. Tapi yang namanya raga ngga bisa dibohongi, mungkin karena udah dua malam bergadang, akhirnya malam itu saya dan suami tertidur dengan lelapnya.
Esoknya kami memutuskan untuk langsung keluar dari RS. Ngga kuat harus tidur pisah dari Tara. Begitu sampai di rumah ibu, berbagai makanan penambah dan pelancar ASI langsung disodorkan kepada saya.
"Minum Nira biar ASI nya ngucur" kata seorang tetangga.
Ngga berapa lama, sebotol besar nira pun diantar ke rumah. Langsung saya minum tanpa sisa.
" Makan jantung pisang biar deres "
Sepanci sayur jantung pisang pun menjadi menu sehari-hari.
" Daun katuk jangan lupa"
" Daun nasi-nasi"
" Yang pait-pait, sawi pait, daun pepaya, pare"
Semuaaaaanyaaa saya makan ngga pake pilih-pilih.
Namun sampai hari kesepuluh ASI saya hanya menetes saja, ngga sampai ngucur-ngucur kayak yang dibilang orang. Saya mulai frustasi.
“ Coba dipijet” Kata tetangga yang lain
Tukang pijet andalan di kampung saya pun didatangkan ke rumah. Langsung dikontrak selama 40 hari ke depan. Hasilnya? Sama saja
“ Coba diperah” kata suami
Dengan semangat 45 saya perah, Pakai pompa manual, merek Midela (penting ini ). Hanya dapat 10 ml. Itu pun setelah diperah selama setengah jam lebih, hiks.
“ Pompanya kurang bagus tuh de” suami saya sepertinya ikut frustasi ngeliat hasil pumping.
Hari itu juga, suami saya yang sangat baik hatinya itu bergegas ke Medan ( rumah ortu saya di Galang, kira-kira satu jam-an dari Medan ) untuk membeli pompa yang lebih bagusan. Langsung beli yang elektrik dengan merek yang sama yang harganya kata tante saya seharga satu ekor kambing untuk kekah itu.
Harapan saya membuncah, membayangkan ASI bakal mengalir deras dari payudara saya. Apalagi adik saya bilang, dulu ia bisa sekali perah dapat 300 ml, saya pun makin semangat.
Hasilnya???
Dapat 30 ml, lumayanlah daripada lumanyun.
“ Kalau mau ASI nya banyak, pikiran harus relaks biar LDR (Let Down Reflex) nya dapet”
Suami dengan senang hati menggaji dua orang ART sekaligus. Satu ngurusin anak, satu buat beres-beres rumah. Masih kurang? Seorang ibu yang biasa ngerawat ibu-ibu pasca melahirkan pun dibooking ke rumah setiap hari. Mulai dari meng-oukup (seperti spa tapi ala rumahan), pijet, lulur sampai makein segala jenis param-paraman ke badan saya. Praktis ada tiga orang yang membantu saya setiap hari.
Karena hasil belum maksimal juga menurut saya soalnya saya ngga pernah yang ngalamin ASI sampai netes-netes kalau ngga diminumin ke bayi, maka saya pun berinisiatif mengudang konselor ASI ke rumah, langsung ahlinya, konselor AIMI.
“ Mungkin perlekatannya kurang pas mba” kata si konselor yang juga ternyata seorang dokter itu
Saya pun langsung memperagakan gaya menyusui Tara.
“ Hmmm udah bagus kok “
Ia lalu menerangkan, bahwa untuk memproduksi ASI, ada dua hormon yang paling berperan. Hormon prolaktin untuk memproduksi ASI dari pabriknya, dan hormon oksitosin untuk mengeluarkan ASI dari payudara. Katanya, hormon prolaktin saya sudah bagus, terbukti dengan payudara saya terlihat penuh. Namun sayangnya hormon oksitosin saya tidak bekerja sempurna. Kemungkinan saya stress.
Hal itulah yang saya tidak mengerti. Masa iya saya stress padahal saya ngga ngerjain apa-apa, istirahat juga cukup ( kan dibantu 3 orang gitu lho ).
Namun sejak konsultasi tersebut, perlahan hasil ASIP saya mengalami peningkatan. Dari 50 ml, akhirnya tembus rekor 100 ml sekali perah. Girangnya bukan main. Langsung difoto buat penambah semangat. Disimpan dibotol dan dimasukin ke freezer, mulai nabung.
Walau katanya produksi ASI tidak sama dengan hasil perahan, namun bagi saya ASIP itu sangat penting, sebagai persiapan saat saya kembali bekerja. Lagi-lagi demi cita-cita ASI eksklusif tadi.
Dalam satu hari, saya bisa menyimpan 2 botol ASIP, maksimal. Namun tabungan ASIP tersebut tidak bertahan lama, karena saat cuti melahirkan saya memutuskan ikut kursus mengemudi. Otomatis saya bakal meninggalkan Tara minimal selama 2 jam dalam sehari. Walau sebelum pergi Tara sudah saya susuin, tetap saja ASIP yang sudah disimpan terpakai juga.
Sampai dengan menjelang masuk kantor lagi, saya hanya berhasil menyetok ASIP sebanyak 15 botol. Padahal udah bangun malam juga untuk pumping.
Begitu aktif kembali ngantor, setiap pergi kerja bawaan saya segambreng. Satu tas isinya perlengkapan saya, laptop, dompet, charger hp. Satu tas lagi isinya breast pump,botol ASIP,ice gel. Ditambah lagi dengan tas bekal makanan. Untuk menjaga kualitas ASI saya memang memutuskan bawa makanan dari rumah. Isi bekalnya ngga jauh-jauh dari daun katu, sawi pahit, jantung pisang dan aneka sayur biar ASI dereeees. Cemilan saya pun isinya segala jenis kacang-kacangan. Mulai dari kacang mede, kacang tananh, kacang almond, semua kacang deh. Bahkan saya sampai minta bawain sodara yang pulang dari Makassar buat beliin kacang mede dari sana, karena harganya agak murahan disana.
Di kantor, saya buat jadwal pumping jam 10 pagi, jam 1 siang saat istirahat dan jam 4 sore menjelang pulang kantor. Awal-awal bisa dapat tiga botol sehari, masing-masing 100 ml.Kadang hanya dapat 200 ml, pernah juga Cuma 150 ml. Disimpan di kulkasnya pak Pinwil, sore baru saya bawa ke rumah pakai tas khusus ASIP .Di rumah pun saya masih pumping saat Tara tidur. Berapapun tetap saya syukuri. Setetes demi setetes kan lama-lama jadi berbotol-botol juga pikir saya.
Namun, lama kelamaan Tara minum semakin banyak. Saat saya kerja dia bisa menghabiskan sebanyak 4 botol ASIP. Sebulan pertama masih bisa terpenuhi dengan stok ASIP yang sudah ada ditambah hasil pumping di kantor.
Masuk usia empat bulan, Tara menghabiskan 5-6 botol selama saya tinggal. Begitu kembali di rumah, Tara kembali dapat ASI langsung dari saya.Hingga akhirnya stok ASIP saya habis, hanya mengandalkan hasil pumping hari ini untuk diminum besoknya. Pada saat itu akhirnya saya pasrah, berusaha menerima kenyataan, Tara pun mengkonsumsi sufor disamping ASIP.
Jangan ditanya bagaimana sedihnya perasaan saya. Disamping sedih karena cita-cita ASI eksklusif pupus sudah, ditambah lagi dengan kenyataan harga sufor yang ampuuun deh benar-benar bikin panas kantong. Mari kita berhitung.
1 kotak sufor = Rp130.000,-
1 Kotak habis dalam 3 hari
1 bulan = 10 kotak x Rp 130.000 = Rp 1.300.000,- ( nangis )
Bayangkan kalau saya bisa sukses memproduksi pumping ASIP sesuai kebutuhan Tara, uang segitu pasti bisa nambahin semarak buku tabungan.
Awalnya saya takut Tara tidak sesehat anak lain yang full ASI. Tapi Alhamdulillah sampai saat ini Tara sehat wal afiat dan lincah sama seperti bayi pada umumnya.
Dari pengalaman itu, saya begitu kagum dengan para ibu yang bisa sukses memberi ASIX pada buah hatinya. Seorang teman sekantor yang hanya berjarak seminggu dengan kelahiran Tara juga ternyata bisa memberi ASIX untuk anaknya. Kadang saat pumping bersama di kantor, startnya duluan saya, sambil pumping sambil ngobrol. Gitu selesai, dia bisa keluar dari toilet ( ya saya pumping di toilet) dengan 3-4 botol ASIP di tangan dan saya hanya membawa 1 botol saja. Itu pun kadang tidak full, miris.
Dengan segala daya dan upaya saya telah berusaha maksimal untuk memberi yang terbaik bagi si buah hati. Maka tatkala buka internet, masuk di grup khusus ibu menyusui atau baca blog orang lain atau status teman yang merasa bahwa ibu yang sempurna itu ibu yang bisa memberi ASIX kepada anaknya, duuuh rasanya pengen langsung ngeklik tombol unlike (sayangnya ngga ada) xixixi.
Atau malah ada yang ngata-ngatain anak yang minum sufor itu adalah anak sapi, iiiih pengen banget nampol yang nulis gitu.
Walau katanya ini bukan tentang kesempurnaan seorang ibu, atau ini bukan tentang anak manusia atau anak sapi, tapi tetep ujung-ujungnya membully ibu-ibu yang memutuskan memberi sufor kepada anaknya, membuat saya jadi males banget kalau udah ngomongin masalah ASI.
Maka saat kemarin heboh soal artikel yang diposting sebuah brand pelembut pakaian, saya hanya tersenyum geli.
Sebenarnya kalau mau jujur apa yang ditulisnya ada benernya lho.
Bahwa menyusui itu melelahkan. Hmmm benar bangets. Beberapa teman yang saya kenal hampir seratus persen sependapat. Menyusui itu luar biasa lelah.Apalagi di awal-awal, saat saya masih belum paham tentang menyusui padahal sudah membaca seabrek artikel menyusui. Tara bisa nempel di puting sampai satu jam lebih. Kalau dilepas nangis. Bukan saya saja, adik saya pun mengalami hal yang sama. Jadilah saya bisa sampai tertidur sambil duduk. Punggung ini pegalnya minta ampun. Posisi menyusui sambil tidur pun membuat badan pegal-pegal.
Tapi mungkin satu hal yang si penulis tidak tahu, bahwa menyusui itu melelahkan namun membahagiakan. Saat sudah tahu trik menyusui yang benar, pegal-pegal saya hilang. Dan saya akan seratus kali lebih memilih menyusui ketimbang bangun tengah malam untuk membuat susu formula. Tinggal buka kancing baju, miringkan badan sedikit, hap bayi kenyang ibu senang. Bayangkan kalau harus membuat sufor. Tangan saya pernah tersiram air panas dari dispenser, karena dalam keadaan ngantuk berat saat menyeduh sufor. Siapa bilang memberi sufor tidak butuh perjuangan? Termasuk perjuangan materi looo.
Dan yang utama, saat melihat mulut mungil Tara menempel di dada saya, menghisap penuh nikmat sambil mata beningnya menatap mata saya, duuuuh momen yang tak mungkin tergantikan oleh apapun. Apalagi kalau sudah kenyang, Tara akan melepaskan mulutnya sambil tersenyum manis, iiih gemes banget.
Artikel kedua si pelembut pakaian. Bahwa para ibu bekerja jangan memaksa diri untuk memberi ASIX.
Saya rasa juga ada benarnya. Hanya saja si penulis sama sekali tidak membahas soal ASIP. Dia hanya mengutarakan betapa repotnya harus pulang ke rumah untuk menyusui yang pastinya tidak akan mungkin bisa dilakukan di kota-kota besar
Kalau kita sudah berusaha maksimal, mengupayakan segala hal, namun toh hasilnya tidak sesuai impian, masa harus memaksa diri juga?
Bagi saya, menjadi seorang ibu yang bahagia jauh lebih penting dari predikat lulus S1. Terdengar egois, namun seorang ibu yang bahagia, yang tidak terbebani dengan pandangan ideal ibu masa kini pastinya akan memberi energi positif pada bayinya.
Saya yakin, kelak anak saya tidak akan menuntut saya jika ia tahu saya tidak berhasil memberinya ASIX. Saya yakin ia tahu bahwa hak asasinya untuk memperoleh ASI telah saya penuhi semaksimal saya bisa.
Maka tak perlulah lagi memperdebatkan siapa lebih baik dari siapa. Dan jangan pula antipati pada artikel yang membahas sufor, apalagi membully pengguna sufor.
Bersyukurlah jika anda mampu memberi ASIX pada si buah hati. Memiliki produksi ASI yang berlimpah ruah, sehingga tidak perlu merogoh kantong lebih dalam, membuka anggaran baru untuk membuat anak anda tidak menangis karena haus dan lapar.
Dan kalau ada yang berpendapat bahwa ASI melimpah bukan anugerah, bukan keberuntungan tapi bisa diusahakan, pun tetap bersyukurlah tidak mengalami apa yang mungkin kami alami.
Cukuplah kami yang tahu, tak perlu label ibu sempurna untuk menunjukkan seberapa besar cinta yang kami miliki untuk si buah hati.
Seperti lagu yang setiap hari dinyanyikan ART di rumah saya
“ Kasih sayangnya bunda
Tidak ada batasnya
Siang malam dijaganya…..
Dipangku dan ditimangnya
Dengan kasih sayangnya”
Kasih ibu tak terbatas usia 6 bulan pertama. ASI adalah makanan terbaik untuknya, tak seorangpun bisa membantahnya.Tak perlu mempertanyakan alasan dibalik pilihan seorang ibu. Masih banyak agenda untuk membentuk generasi penerus yang membanggakan umat.
Untuk ibu-ibu senasib jangan berkecil hati ya. Jangan sampai kejadian kayak cerita saya di awal. Sekarang saya udah ngga pernah lagi jawab gitu kalau ditanya orang. Saya sudah sedikit lebih mengerti arti menjadi seorang ibu. Bukan soal seberapa banyak ASI yang bisa kau produksi
Jadi,…………… Kalau anak saya minum sufor, memangnya kenapa?